Teori

Aku adalah Aku, tetapi Siapa Aku?

Judul di atas merupakan cuplikan dari kisah Musa yang sedang menggembala kambing di Gunung Horeb. Tak disangka-sangka, tiba-tiba sebuah pohon terbakar dan segala ranting dan daunnya menjadi lidah api. Musa terkaget dan mendengar suara berasal dari pohon tersebut. Untuk pertama kalinya Musa mendengar perintah dari Tuhan untuk membawa orang Israel ke tanah terjanji. Dalam kisah tersebut, Musa kebingungan bagaimana ia mesti mengatakan kepada orang Israel terkait siapa yang memberinya perintah. Pohon dengan nyala api yang merupakan perwujudan Tuhan tersebut kemudian menjawab, “Ehyeh asher Ehyeh” atau “Aku adalah Aku”. Kisah yang sangat terkenal ini sangatlah tepat untuk menggambarkan bagaimana psikologi membicarakan self.

Secara singkat self merupakan jawaban yang mengikuti pertanyaan “Siapa saya?” Pertanyaan tersebut bukanlah sebuah pertanyaan yang mudah. Barangkali ketika 10 tahun lalu kita ditanyai dengan pertanyaan serupa, hari ini kita menjawabnya dengan sangat berbeda. Istilah self seringkali tumpang-tindih dengan istilah lain seperti ego, persona, kepribadian, subyektivitas, identitas, atau kesadaran (Jones, 2014). Guna mempermudah perbincangan, tulisan ini cenderung melihat istilah-istilah tersebut sebagai rangkaian penanda dengan pertanyaan yang coba menjawab “Siapa saya?”

Dari banyaknya konstruk terkait self ditunjukkan bahwa gagasan mengenai self tampak menjadi sentral dan khusus dalam psikologi. Adakah persoalan yang muncul dengan penelitian yang terkesan membagi self ke dalam konstruk yang begitu banyak? Tulisan ini berminat untuk menunjukkan bagaimana self selama ini diperbincangkan dalam psikologi. Setelah melihat bagaimana self diperbincangkan, tulisan ini berusaha memproblematisir dan memberi alternatif pendekatan menyoal self.

Konstruk terkait Self

Pendekatan soal “self” atau “diri” masih berputar-putar terkait pembedaan “I” (orang sebagai pusat introspeksi dan refleksi) dengan “me” (interaksi dengan orang lain). McVittie dan McKinlay (2017) menuliskan bahwa pembagian Idan me didasarkan pada gagasan William James (1890). Menurut James, I merupakan pusat dari introspeksi dan refleksi terhadap pengalaman, yang membuat orkestrasi perjumpaan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan sehingga memungkinkan berlangsungnya keberadaan kita sebagai manusia. Sementara itu, me menunjukkan bahwa diri diketahui lewat interaksi dengan liyan. Me merupakan diri sosial yang berisi kumpulan diri (selves) dan diperoleh manusia lewat statusnya sebagai makhluk sosial. I dan me menunjukkan bahwa ada dua elemen diri menyusun orang sebagai makhluk yang unik, berbeda dengan liyan, dan dapat introspeksi serta merefleksikan partisipasinya dalam dunia sosial.

Gagasan James soal self terus bertahan hingga pada 1950an muncul gagasan terkait self seperti self-image, self-actualisation, self-affirmation dan lain-lain. Istilah yang mengikuti self tersebut menandai bahwa penelitian selfbukan lagi mengenai self itu sendiri, melainkan apa yang terkait dengan self. Pada masa ini, Gordon Allport mengamati bahwa penelitian terkait self dalam psikologi lebih diarahkan misalnya hubungan antara self-esteemdengan self-actualisation. Alhasil, Anda akan menemukan sekitar 40an konstruk psikologis yang terkait dengan self; dari self-concept, self-fashion, self-worth, self-create, atau yang kini menjadi populer seperti self-love dan self-care.

Sebagai contoh adalah self-concept (konsep diri). Konsep diri merupakan suatu skema, yakni pengetahuan yang terorganisasi mengenai suatu yang kita gunakan untuk menginterpretasi pengalaman (self-schema). Skema ini memengaruhi cara seseorang mengolah informasi dan mengambil tindakan. Menurut Higgins (1987), ada tiga jenis skema diri; (1) actual self atau bagaimana diri kita saat ini, (2) ideal self atau diri seperti apa yang kita inginkan, dan (3) ought self atau bagaimana diri kita seharusnya. Karena terdapat tiga skema tersebut, maka terjadi tegangan antar-diri yang disebut self-discrepancy. Kondisi tersebut biasanya diatasi dengan possible-self, misalnya resolusi awal tahun.

Contoh lain adalah self-presentation atau ketika seseorang berusaha untuk membuat kesan terhadap orang lain. Kita menghadapi banyak perjumpaan dan bagaimana kita menampilkan diri kepada orang lain amat bervariasi. Kita mungkin berusaha untuk terlibat dalam promosi diri (self-promotion) — menghadirkan aspek diri kita yang paling menguntungkan — pada beberapa kesempatan dan pada kesempatan lain kita mungkin termotivasi untuk menampilkan diri kita dengan cara yang mendorong orang lain untuk menyetujui pandangan kita. Artinya, kita melakukan verifikasi diri (self-verification). Kita juga dapat membuat presentasi diri yang menguntungkan dengan menggunakan taktik ingratiation yang menyampaikan rasa hormat kepada orang lain, atau kadang-kadang merendahkan diri (self-depreciate) untuk mengkomunikasikan kekaguman terhadap orang lain dengan perbandingan.Dalam perbandingan sendiri, kita seringkali menemukan seseorang melakukan perbandingan dirinya atau memperbandingkan orang lain yang dianggap lebih baik (upward social comparison) atau orang lain yang dianggap lebih buruk (downward social comparison).

Singkat kata, masih ada istilah-istilah lain yang menggambarkan taktik kita untuk melakukan kendali terkait bagaimana orang lain berpikir tentang kita. Oleh karena itu, kita menampilkan berbagai macam cara merepresentasikan diri (self-presentation) dengan berbagai macam tujuan yang ingin kita capai. Selain yang telah disebutkan di atas, ada pula istilah dalam presentasi-diri seperti: intimidation, supplication, exemplification, self-handicapping, atau back in reflected glory.

Diri sebagai Kategorisasi Sosial

Selain penyebaran gagasan terkait self, pendekatan lain yang masih dipertahankan adalah melihat self dari posisi teoretis. Dalam model teori kategori ini, self diteliti dari konsep identitas yang dibagi menjadi dua, identitas personal dan identitas sosial. Dalam identitas personal, orang akan mendefinisikan dirinya berdasarkan atribut atau trait yang membedakan dirinya dengan orang lain dan hubungan interpersonal yang dimiliki. Sementara itu, dalam identitas sosial, orang akan mendefinisikan diri berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok atau atribut yang dimiliki bersama oleh kelompok.

Gagasan James yang mengatakan bahwa manusia sebagai pusat pengalaman (I) dan manusia dipahamilewat interaksi sosial (me) menjadi dasar memahami self. Paling terkenal dari pendekatan model me adalah Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory; SIT) yang diinisiasi oleh Henri Tajfel dan John Turner pada 1970an dan kemudian dikenal juga sebagai Self-Categorisation Theory (SCT). Gagasan utama SIT adalah menunjukkan bagaimana orang diidentifikasi secara sosial berdasarkan identitas dalam berbagai rentang waktu; entah identitasgender, usia, kebangsaan, etnisitas, maupun kategori lain. Identitas sosial memberi seseorang rasa diakui lewat (1) kategori sosial (social categorization), (2) identifikasi sosial (social identification), dan (3) perbandingan sosial (social comparison). Persamaan antar-orang menjadi dasar terbentuknya suatu identitas sosial.

Branscombe dan Baron (2017) menuliskan bahwa SIT mempersepsikan diri sebagai anggota kelompok sosial dan mengidentifikasi diri dengan kelompok tersebut. Keberadaan kita dalam kelompok akan memperkirakan bagaimana kita merespons suatu hal ketika identitas kelompok lebih menonjol. Ketika Anda seorang yang ikut gerakan perempuan atau memperhatikan isu perempuan, barangkali Anda akan dengan keras melawan praktik pelecehan seksual. SIT mengatakan bahwa kita akan bergerak lebih dekat ke orang lain yang positif dan memiliki persamaan identitas. Dengan demikian, orang-orang yang berbeda atau sesama anggota kelompok yang membawa dampak negatif atau kinerjanya buruk akan kita jauhi — bahkan dikeluarkan dari jaringan sosial.

Meskipun demikian, ada beberapa kritik yang muncul terhadap teori SIT. Pertama, SIT dimotivasi oleh kebutuhan individual untuk memaksimalkan harga-diri (self-esteem). Anda akan merasa memiliki identitas sosial tertentu sepanjang Anda menikmati keuntungan dengan mengenakan identitas tersebut. Kedua, gagasan self tidak mendapatkan ruang yang lebar dalam teori SIT, makanya kemudian muncul SCT. Secara spesifik, SCT membahas mengenai bagaimana dan kapan individu akan mengidentifikasi dirinya dalam identitas sosial dan bukan identitas personal. Menurut SCT, individu akan menggunakan identitas sosialnya ketika identitas sosial tersebut relevan dan dianggap menonjol dalam konteks hidup yang tengah dialami individu tersebut. Menonjolnya identitas ini memunculkan kritik terhadap SIT dan SCT, yakni depersonalisasi[1] .

Selain konstruk terkait self, SIT dan SCT menjadi bahasan yang berpengaruh dalam psikologi sosial, terutama ketika berbicara mengenai pembentukan kelompok. Meskipun demikian, unsur depersonalisasi menujukkan bahwa self dalam teori tersebut memainkan peran yang tidak seberapa. Self hanya menjadi efek dari identitas sosial individu. Bagaimana dengan gagasan bahwa self merupakan makhluk sosial unik yang berinteraksi dengan liyan?

(De-)Esensialisasi Teori Self

Kita telah mengenal dua pendekatan self. Pertama adalah self dengan konstruk lain yang mengikuti dan kedua adalah self yang memainkan peran kecil ketika dihadapkan pada kelompok atau identitas sosial. Apabila kita amati, self atau individu dengan society dalam kedua pendekatan tersebut dianggap sebagai entitas terpisah. Ada dua implikasi penting dari keterpisahan individu dengan masyarakat (McVittie & McKinlay, 2017). Pertama, dalam kondisi demikian, individu akan dicerabut dari pengalaman akan konteks sosialnya. Persoalan kedua yang muncul adalah esensialisasi konsep self. Esensialisasi self berarti memperlakukan self sebagai sebuah esensi yang tak berubah atau tertentukan sebelumnya. Dalam self dengan konstruk terkait, maka Anda akan memperlakukan self sebagai hasil dari proses kognitif semata. Sementara itu, dalam SCT atau SIT Anda akan menemukan bahwa hanya dengan membedah lanskap sosial maka Anda akan memahami self. Dengan kata lain, pendekatan soal self masih mengikuti pembagian dualistik yang dilakukan oleh James.

Dalam pendekatan self kontemporer, kita akan dihadapkan pada konsep lived experience. Lived experience bukan sekadar pengalaman hidup, lebih daripada itu adalah pengalaman yang dihidupi. Artinya, dalam kajian mengenai self, para peneliti mulai berfokus pada bagaimana orang menghidupi hidupnya dalam dunia sosial. Alih-alih memisahkan individual dengan societal, pendekatan kontemporer coba untuk mengkombinasikan keduanya. Selfmerupakan produk yang muncul atau lahir ketika orang hidup dan melakukan aktivitas sosial.

Seturut logika di atas, penekanan pada interaksi sosial dan secara khusus bagaimana orang menggunakan bahasa untuk bernegosiasi dan mengkonstruksi makna sehari-hari sebagai makhluk sosial menjadi perkara penting dalam memahami self. Kajian dalam psikologi sosial seperti sikap, atribusi, kognisi, atau relasi kelompok menjadi isu yang mestinya dipahami dalam interaksi sosial alih-alih milik masing-masing individu. Pun dengan self kemudian coba untuk dilihat dari bagaimana konsep tersebut dikonstruksi dalam bahasa.

McVittie dan McKinlay (2017) menjelaskan bahwa pendekatan berbasis bahasa atau dikenal denganpendekatan diskursif dibagi dalam dua pendekatan, yakni makro dan mikro. Pembagian ini hanya berbeda dalam arah analisisnya saja. Apabila Anda menggunakan pendekatan makro, maka Anda tetap harus melihatnya sampai ke mikro dan sebaliknya. Hanya saja, terkadang kita mesti menunjukkan bagian mana yang akan kita garap lebih.

Dalam pendekatan makro, kita berfokus pada bagaimana pola struktur sosial dan praktik sosial membentuk dan menghidupkan interaksi antara orang satu dengan yang lain. Para peneliti dalam ranah makro ini, misalnya Norman Fairclough, Kees van Dijk, atau Michel Foucault. Pemikir dengan pendekatan makro melakukan analisis ideologi untuk menguraikan analisis mengenai mengapa orang mengatakan apa yang ia katakan, memikirkan apa yang ia pikirkan, dan melakukan apa yang ia lakukan. Singkatnya: memeriksa bagaimana ideologi yang dominan diproduksi dan direproduksi dalam bahasa dan menampilkan ketimpangan yang terjadi dalam praktik sosial.

Praktik diskursif atau praktik berwacana ini merefleksikan kuasa dan ideologi dalam level yang luas, tetapi juga menyediakan pemahaman dunia terkait bagaimana segala sesuatu di sekitar kita menjadi perkara hidup sehari-hari yang masuk akal (lebih lanjut Harimurti, 2020). Dari perspektif ini, self dapat dipahami sebagai hasil dari wacana yang menang (prevailing discourses) dan menentukan pola relasi sosial. Kita juga diajak mengakui bahwa, dalam pendekatan Foucaldian misalnya, sebagai manusia kita memiliki posisi tertentu dalam bernegosiasi dengan wacana. Setiap orang memiliki posisi subyek tertentu di mana ia bisa hidup dalam wacana dominan atau bahkan melakukan resistensi terhadap wacana tertentu.

Sebagai contoh, dalam perdebatan terkait Covid-19 ini ramai dibicarakan mengenai otoritas apakah pandemi ini merupakan bentuk konspirasi atau terjadi secara alami. Apabila Anda menempatkan kedirian Anda sebagai seorang peneliti, barangkali Anda akan memiliki kecurigaan laiknya orang yang percaya teori konspirasi. Yang membedakan saat Anda mengambil posisi subjek sebagai peneliti, Anda akan mempertanyakan segala macam konspirasi yang minim data. Anda menempatkan posisi Anda sebagai agen yang setia terhadap data — dan inilah yang mengantar ke pendekatan mikro.

Pendekatan mikro lebih menyasar pada bagaimana bahasa mereproduksi ideologi atau ketimpangan. Jadi apabila pendekatan makro berfokus pada struktur sosial, maka dalam pendekatan mikro kita akan dihadapkan pada bagaimana seseorang menggunakan bahasa untuk memperoleh hasil tertentu. Lewat pendekatan mikro, kita diajak untuk memahami bahwa setiap orang memilih (critical language awareness) atau menggunakan (tanpa sadar) cara berbahasa tertentu bukan tanpa dasar dan tujuan tertentu. Berbahasa adalah cara orang untuk hidup dan bernegosiasi dengan dunia sekitarnya; entah mengeluh, menyalahkan, mengkritik, ataupun bersepakat.

Pendekatan mikro ini pernah ditulis Erving Goffman (1959) yang menyatakan bahwa self bukanlah properti individual, melainkan sesuatu yang ditampilkan atau diperformasikan dalam interaksi dengan liyan. Alih-alih berusaha untuk melakukan teorisasi apa yang terjadi dalam kepala seseorang, Goffman melihat dan mengurai kehidupan sosial serta menunjukkan bagaimana orang membuat interaksi sosial berjalan sebagaimana adanya. Sumbangan utama pendekatan mikro ini adalah melihat self sebagai produk interaksi sosial, bukan konsep yang melulu mendahului interaksi sosial. Apabila Anda melihat self merupakan konsep mendahului interaksi sosial, tak pelak lagi Anda akan jatuh ke dalam esensialisasi.

Sebagai contoh, saya mengutip tulisan McVittie dan McKinlay (2017) mengenai bagaimana seseorang mengkonstruksi dirinya. Penelitian dilakukan terhadap orang yang berusia lebih dari 50 tahun dan mendaftar di jobcentre untuk mencari pekerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemungkinan diskriminasi usia terhadap pencari kerja dan bagaimana pencari kerja membangun identitas mereka dalam konteks itu.  Kutipan ini dimulai dengan pertanyaan wawancara kepada seorang dengan inisial FV tentang kemungkinan konsekuensi usia dalam memperoleh pekerjaan.

(McVittie et al., 2008, hal. 252)

 

Di sini, pertanyaan yang diajukan kepada FV memperkenalkan kemungkinan bahwa persepsi usia mungkin berlaku terhadap upayanya untuk mencari pekerjaan. Seperti yang terlihat, FV tidak menjawab pertanyaan sbegaimana kita harapkan. Alih-alih merujuk pada usia, atau upayanya untuk mencari pekerjaan, FV mengembangkan deskripsi tentang dua jenis orang berdasarkan ‘jenis otak’. Dia menetapkan relevansi masing-masing jenis otak untuk orientasinya bekerja, baik dengan memisahkan pekerjaan dengan kehidupan atau dengan bekerja ‘dari lahir sampai mati’.  Deskripsi tersebut dengan demikian menggambarkan dua jenis diri: berakar pada biologi dan disposisi batin yang terkait dengan pekerjaan.  Setelah membangun kemungkinan-kemungkinan termaksud, FV melanjutkan dengan mengklaim bahwa ia memiliki jenis otak yang ‘dapat memisahkan keduanya’.  Klaim ini kemudian dikaitkan dengan tindakan refleksifnya terhadap pekerjaan, dalam upaya untuk ‘keluar dari itu’ atau ‘lebih jauh ke dalamnya’ tergantung pada apakah ada ‘sesuatu yang saya sukai’ atau tidak.

Deskripsi FV membangun baginya sebuah diri yang berakar dalam otaknya dan dalam disposisi yang menyertainya terhadap pekerjaan.    Untuk melihat tindakan apa yang dilakukan diri FV, kita perlu memeriksa deskripsinya dalam konteks khusus.  Bagi FV, apa yang dicapai adalah untuk memperhitungkan statusnya saat ini sebagai tidak bekerja. Sedangkan pertanyaan yang diajukan kepadanya mengundang respons yang melibatkan usia sebagai faktor yang terkait dengan pekerjaan, FV merespons dengan memperhitungkan karena tidak bekerja berdasarkan diri batiniahnya.

Melihat Self dari Mata Sève

Selain pendekatan diskursif, tulisan mencoba untuk melihat bagaimana materialisme historis juga menyumbang dalam pendekatan terhadap self. Salah satu pemikir yang coba membedah soal kedirian dari materialisme historis adalah Lucien Sève (1926-2020). Sève adalah seorang filsuf yang kemudian mendedikasikan penelitiannya dalam bidang psikologi. Pada tahun 1969, ia menulis sebuah buku berjudul Marxism and The Theory of Human Personality (Marxisme et Théorie de La Personnalité). Pendekatan Sève cenderung lebih dekat pada pendekatan makro, meskipun dengan mudah kita juga akan melompat ke pendekatan mikro juga. Tulisan tentang Sève di bawah ini sebagian besar bersumber dari wawancara Tod S. Sloan, seorang ahli psikologi asal Amerika, terhadap Lucien Sève pada tahun 1987.

Sève mengatakan bahwa psikologi mesti bicara bukan suatu konsep-konsep yang abstrak. Menurut Sève, perlu sebuah psikologi konkrit (concrete psychology). Dengan menganalisis kepribadian, Sève menunjukkan bahwa fenomena psikologis yang mendeskripsikan personalitas atau kepribadian individu mestinya bersifat sosial dan historis. Gagasan tersebut sebetulnya telah masuk dalam berbagai ilmu sosial seperti antropologi atau sosiologi, namun dalam psikologi gagasan sosio-historis dalam memahami manusia merupakan perkara yang masih sukar diterima. Meskipun pendekatan sosio-kultural ini sudah diterima dalam psikologi, namun praktik dalam penelitian psikologi tetap menerapkan konsep-konsep umum seperti intrapsikis, interpersonal, dan situasional. Dengan kata lain, penelitian psikologi terus mereproduksi amnesia sosial, atau mencerabut manusia dari kondisi sosial dan historisnya.

Apa implikasi dari amnesia sosial tersebut? Segala hal terkait penelitian dalam psikologi senantiasa berdasar semangat untuk mengatur manusia supaya menjadi lebih berdaya dan kompeten (psychology of functions), namun melupakan problem yang lebih serius; misalnya ketimpangan struktur. Kita bisa menemukan dalam model differential psychology atau karakterologi. Dalam karakterologi, subjek diminta untuk mengisi respon tertentu kemudian hasil dari respon tersebut dikembalikan ke si pengisi. Si subyek akan memperoleh kembali hasilnya dengan klasifikasi berdasarkan terminologi yang hanya diketahui si ahli. Sève (1987) mencontohkan, misalnya Anda memberikan kuesioner kepada seseorang dan orang tersebut kemudian mengisinya. Hasil respon menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki tipe ekstroversi (extraverted) atau dianggap menikmati kehidupan sosial bersama orang lain, penuh energi, partisipasi sosial tinggi. Tes tersebut bisa mengkategorikan orang, tetapi tidak pernah bisa menjawab mengapa orang tersebut bisa menjadi ekstrover. Lalu di mana keunikan individu bisa mendapatkan tempat dalam psikologi yang demikian?

Sève menawarkan gagasan Karl Marx sebagai dasar psikologi konkrit. Sève mengatakan bahwa refleksi Marx terkait historisitas sains menunjukkan bahwa sebuah sains bersifat unik secara historis; entah keunikan terkait peristiwa individual, masyarakat, atau kelompok tertentu. Alih-alih mengatakan Marx sebagai seorang sosiolog, Sève menyatakan bahwa Marx menyumbang cara melakukan konseptualisasi dari analisis yang konkrit atas realitas konkrit. Karena melihat sesuatu yang konkrit dan mendasarkan pada historisitas, maka teori umum soal individu tidak mungkin ada, kalaupun ada maka akan keliru secara mendasar. Mengapa dikatakan keliru? Ambillah contoh sebagaimana dikatakan Sève soal tipe kepribadian. Para peneliti psikologi sibuk untuk menunjukkan “bentuk” (form) kehidupan psikologis, tetapi melupakan satu hal yang lebih penting, yakni isinya (content). Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apa yang saya lakukan dengan hidupku?”, “Apa yang mestinya saya lakukan terhadap hidupku?”, atau “Apa yang akan dilakukan hidupku terhadap diriku?” tidak akan pernah terjawab dengan teori umum.

Selain masa hidup atau siklus biologis yang berbeda, bentuk-bentuk pertanyaan mengenai cara manusia ber-ada (raison d’être; alasan keber-ada-an manusia) dan sistem perencanaan membedakan manusia dengan hewan. Manusia mampu untuk menintegrasikan pengalaman kolektif atau hidup bersama ke dalam dirinya. Dengan memproduksi cara bertahan hidup (survivalitas atau subsistence), manusia membangun kapsitas simbolik untuk melakukan pertukaran, membangun bahasa, dan relasi sosial. Artinya, manusia tidak terprogramkan sejak lahir. Tidak satupun bahasa yang kita pelajari sudah ada dalam struktur kognitif dalam diri kita, orang harus mempelajarinya. Dengan kata lain, pengalaman manusia berada dalam arena di luar individu, yakni dalam ruang sosio-historis tertentu.

Pengalaman manusia tersebut menentukan individualitasnya. Oleh karena itu, ketika kita mengatakan individualitas, mestinya juga tidak menafikan ruang sosio-historisnya (Burr, 1995). Individualitas inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah self. Apa yang membedakannya dengan kepribadian? Sève mengatakan bahwa semua makhluk hidup memiliki individualitas, tetapi kepribadian merupakan milik manusia semata. Kepribadian merupakan fakta historis dan biografis, makanya kemudian disebut unik dan dimiliki orang tertentu. Persoalan muncul ketika kepribadian diesensialisasi dan dianggap sebagai sesuatu yang menetap dalam differential psychology. Hanya demi kepentingan pengaturan dan kategorisasi, kepribadian dimampatkan. Hal tersebut menjadi alasan mengapa konsep kepribadian banyak dikritik (Burr, 1995).

Lalu bagaimana pendekatan ala Sève ini dipraktikkan dalam menganalisis self? Sebelum kita sampai pada bagian analisis, ada beberapa kerangka dan istilah konseptual yang perlu kita pahami, yakni act, biography, dan emploi du temps. Dalam psikologi konkrit ala Sève, act cukup rumit untuk diterjemahkan. Act berbeda dengan action,action bisa diartikan mirip dengan perilaku atau behavior. Act di sini bisa dipahami dalam kerangka aktivitas atau perbuatan, yang mana menekankan pada isi (content) dari aktivitas termaksud. Misalnya dalam kalimat, “A man is responsible for his acts.

Konsep kedua adalah biography. Biografi dianggap penting oleh Sève sebab lewat biografi kita akan memperoleh gambaran mengenai kehidupan seseorang. Dalam spasialitas dan semangat jaman macam apa ia hidup, kita dapat melihat pentingnya biografi ini seperti bagaimana psikoanalisis memperlakukan kisah hidup dari mereka yang menjalanai psikoanalisis. Biografi ini merupakan perwujudan dari gagasan Marx yang ia tuliskan dalam tesis keenam terkait Fuerbach: “Esensi manusia bukanlah abstraksi yang melekat pada individu yang terisolir bersama dirinya sendiri. Dalam kenyataannya, manusia [hidup] bersama relasi sosial.” Biografi menyediakan pengalaman hidup manusia bersama relasi sosialnya. Sève menuliskan, “[A]dalah tak mungkin untuk memahami keberadaan kepribadian manusia tanpa merujuk pada proses sosio-historis.”

Act dan biography terjadi dalam sebuah rentang masa waktu tertentu. Rentang temporalitas ini oleh Sève disebut sebagai emploi du temps. Secara manasuka, kita bisa menerjemahkannya sebagai linimasa hidup kita. Emploi du temps bukan sekadar daftar riwayat hidup, tetapi lebih mendalam lagi mempertanyakan kedirian macam apa yang mungkin terbentuk dengan cara kita hidup sehari-hari. Katakanlah orang bekerja selama 8-12 jam sehari, kedirian macam apa yang mungkin terbentuk dengan porsi waktu yang cukup dominan tersebut? Contoh terbaik emploi du temps adalah ketika Google atau smartphone Anda memberitahu ke mana saja Anda dalam waktu sebulan kemarin atau berapa lama layar smartphone Anda nyalakan dalam waktu seminggu ini.

Apa yang hendak digambarkan lewat ketiga konsep yang ditawarkan Sève? Menurut Sève, dengan melakukan analisis berdasarkan tiga konsep teresebut, kita bisa memahami bentuk historis dari individualitas (historical form of individuality). Bentuk historis dari individualitas inilah yang dalam buku Erich Fromm (1961/2005) dapat kita temukan dalam berbagai macam bentuk kepribadian yang dominan dalam kapitalisme. Misalnya, bentuk individualitas yang penting dalam ekonomi kapitalis berputar-putar dalam kaitannya dengan uang. Apabila kita mengikuti gagasan Marx, uang bisa menggantikan segala jenis relasi sosial. Ketika ada orang meninggal, kita mewakilkannya dengan uang duka. Ketika ada orang menikah, kita mewakilkannya dengan amplop sumbangan.

Sekarang coba kita bayangkan ada dua perempuan berbeda setiap harinya memasak, membersihkan rumah, memandikan anak, dan menyiangi rumput di halaman rumah. Perilaku (behavior) mereka sama. Informasi kemudian ditambahkan: si A adalah ibu rumah tangga dan seorang istri, sementara si B adalah asisten rumah tangga. Apa yang membedakan keduanya? Status kah? Pendekatan psikologi konkrit ala Sève akan menjawab bahwa yang membedakan keduanya adalah soal content dari act-nya. Perempuan A menampilkan perilaku tertentu dalam rangka memberikan pelayanan bagi keluarganya, sementara perempuan B melakukannya demi upah. Karena si B melakukannya demi upah, maka faktor ekonomi akan sangat berpengaruh terhadap pekerjaannya: inflasi, kondisi ekonomi si pengupah, atau misalnya dalam keadaan pandemi seperti hari ini. Melalui contoh tersebut, dapat kita lihat bahwa act yang dilakukan seseorang bukan hanya dilihat dari ekonomi, politik, sejarah, antropologi; tetapi juga faktor tertentu yang berperan besar terhadap aktivitas si individu.

 

Daftar Acuan

Branscombe, N.R. & Baron, R.A. (2017). Social psychology (14th ed., global ed.). Essex: Pearson.

Burr,  V.  (1995).  An introduction to social constructionism. London & New York: Routledge.

Fromm, E. (1991/2005). Marx’s concept of man. London & New York: Continuum.

Harimurti, A. (2020). Konstruksionisme sosial dalam psikologi. Naskah tidak diterbitkan.

Jones, R.A.  (2014).  Self, overview.  Dalam  T.  Teo, Encyclopedia of  critical psychology  (hlm.  1700-1704). New York:  Springer-Verlag.

McVittie, C. & McKinlay, A. (2017). The self. Dalam B. Gough, The Palgrave handbook of critical social psychology(hlm. 59-80). London: Palgrave Macmillan.

Sloan, T.S. (1987). Lucien Sève: Foundations for a critical psychology of personality (An interview translated and introduced by Tod S. Sloan). Dalam R. Hogan & W. Jones, Perspectives in personality (hlm. 125-142). Greenwich CT & London: Jai Press, Inc.

 

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *