Teori

Mengapa Kita Butuh Psikoanalisis Lebih dari Masa-Masa Sebelumnya?

Tulisan ini berusaha menjelaskan konsep dasar psikoanalisis berupa ketidaksadaran dan hasrat seksual. Kedua konsep menjadi fokus Sigmund Freud sebelum 1920. Dalam perkembangannya, psikoanalisis melalui tafsir ulang dan bahkan terkadang sangat berbeda dengan semangat yang digagas Freud sendiri, yakni memahami dan bukan melabeli pengalaman manusia. Terkait hal tersebut, tulisan ini juga berusaha untuk menggambarkan bagaimana perkembangan psikoanalisis dari yang tadinya dianggap radikal menjadi esensialis dan pragmatis. Pada akhir tulisan akan ditawarkan satu jenis psikoanalisis yang berkembang pada 1960an dan dapat menghubungkan kerja psikoanalisis terhadap analisis level sosio-kultural.

Dari Materialisme Historis ke Psikoanalisis

Dalam Marxisme, kita mengenal pendekatan materialisme historis. Fromm (1956) menuliskan bahwa materialisme historis mengklaim bahwa cara manusia memproduksi menentukan cara berpikir dan hasratnya; dan bukan bahwa hasrat utama manusia adalah untuk meraih materi secara maksimal. Melalui pendekatan tersebut, hasrat untuk meraih materi secara maksimal ditentukan oleh sistem kapitalisme. Kapitalisme menyediakan ruang bagi manusia untuk mengejar laba. Dalam praktik pengejaran laba ini, terjadi penghisapan manusia oleh manusia. Inilah yang kemudian dipersoalkan oleh para ilmuwan sosial terkait sistem kapitalisme. Praktik paling nyata adalah ketika sebagai pekerja Anda bisa dipecat kapan saja apabila tempat kerja Anda mengalami persoalan keuangan. Atau ketika Anda sakit dan meninggal, dengan mudah Anda akan digantikan oleh orang lain. Anda tak lebih dari sekadar pekerja.

Sebagai contoh lain, Anda dapat mengamati definisi “laki-laki” dan “perempuan” dalam KBBI. Dalam KBBI disebutkan bahwa “laki-laki” memiliki tiga definisi: (1) orang (manusia) yang mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan adakalanya berkumis, (2) jantan (untuk hewan), dan (3) kiasan orang yang mempunyai keberanian atau pemberani. Sementara itu, “perempuan” berarti: (1) orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita; digunakan untuk menyebut anak: anak perempuan (bukan anak wanita); (2) istri, bini, dan (3) betina (khusus untuk hewan). Belum lagi kalau kita cari gabungan kata yang mengikuti perempuan, kita akan menemukan dalam kamus istilah berikut: perempuan geladak, perempuan jahat, perempuan jalanan, perempuan jalang. Mengapa dalam kedua definisi tersebut hanya laki-laki yang diimbuhi kata sifat pemberani?

Apabila menggunakan pendekatan materialisme historis, kita akan menelusuri bagaimana kamus tersebut melakukan institusionalisasi terhadap konsep laki-laki atau perempuan. Dari mana kamus mendefinisikan keduanya? Tentunya dari penggunaan kedua istilah dalam keseharian. Bagaimana penggunaan dalam keseharian ini bisa berlangsung? Bagaimana hal tersebut diproduksi dalam relasi sosial? Relasi sosial macam apa yang mendasarinya? Dengan menelusuri pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita akan dihadapkan pada kenyataan di lapangan bahwa perempuan cenderung ditempatkan dalam ranah domestik: rumah tangga dan urusan dapur. Kalau kita perhatikan, gabungan kata yang melekat pada perempuan, kita menemukan bahwa semua gabungan kata yang muncul merupakan semacam “pengkhianatan” terhadap kodrat perempuan yang dianggap (harusnya) bekerja dalam ranah domestik. Artinya kita perlu menilik bagaiamana hubungan laki-laki dengan perempuan dalam relasi sehari-harinya.

Dalam relasi sehari-hari ini, terbentuk pengetahuan yang membantu manusia mengorganisasikan kehidupan sehari-hari. Kamus merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang dianggap sah. Dalam hal ini, konstruksionisme sosial memberikan sumbangan besar dalam pembentukan pengetahuan kita sehari-hari. Arti kata laki-laki maupun perempuan senantiasa dikontestasikan dan terus diperdebatkan. Dalam hal ini, wacana terus-menerus dipertanyakan. Dalam kontestasi tersebut ada wacana dominan dan wacana yang resisten — yang senantiasa menantang wacana dominan. Dengan demikian, kontestasi wacana menunjukkan bahwa konflik merupakan dasar dari kehidupan sosial. Konflik inilah yang kemudian menjadi salah satu motif yang oleh Freud digambarkan begitu detil dalam psikoanalisis.

Dalam psikoanalisis, Freud menggambarkan bagaimana subjek terbentuk. Istilah “subjek” perlu digarisbawahi dan dipahami secara berbeda dengan individu. Sebagaimana dalam konstruksionisme sosial, manusia tidak selayaknya disebut sebagai individu belaka. Ada aspek lain yang perlu pula untuk ditekankan: sosial. Konstruksionisme sosial menyebut manusia sebagai individual/societal. Penggunaan garis miring memiliki implikasi yang serius, keduanya aspek sama-sama penting dan tidak bisa melakukan analisis terhadap manusia hanya dengan satu aspek belaka — yang kemudian psikoanalisis menyebutnya “subjek”. Althusser (1973) menunjukkan bahwa subjek berasal dari kata “subjection” yang dalam bahasa Indonesia berarti “penundukan”. Karenanya, istilah subjek berimplikasi bahwa selama rentang hidup, proses penundukan ini terjadi. Misalnya Anda gunakan untuk menyebut subjek Indonesia, yang berarti terdapat kriteria tertentu yang membuat Anda bisa dikatakan sebagai orang Indonesia. Dengan demikian, istilah subjek mempertanyakan penggunaan istilah “individu” yang seakan-akan manusia merupakan pusat dari segala sesuatu di sekitar dirinya — atau melakukan decentering.

Bagaimana decentred subject dipahami dalam psikoanalisis? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu ditegaskan bahwa sumbangan utama psikoanalisis Freud adalah ketidaksadaran. Žižek (2009) menuliskan dalam bukunya bahwa dalam sejarah ilmu pengetahuan terdapat tiga revolusi — yang dikenal sebagai Copernican shift. Pertama adalah adalah gagasan Nicolaus Copernicus mengenai heliosentris yang berkembang abad ke 15-16. Delapan belas abad sebelum Copernicus, gagasan geosentris atau bumi sebagai pusat dunia menjadi pengetahuan yang diamini. Dengan gagasan matahari sebagai pusat tata surya, maka Copernicus mempertanyakan ulang mengenai narsisme manusia sebagai pusat dunia. Kedua adalah teori evolusi Charles Robert Darwin yang meyakinkan kita bahwa asal-usul manusia bukan sebagaimana tertulis dalam Kitab Kejadian bahwa Adam berasal dari tanah dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Darwin mengatakan bahwa nenek moyang manusia adalah kera, tanpa kera manusia tidak akan ada di dunia ini. Gagasan tersebut mempertanyakan soal “manusia sebagai satu-satunya makhluk yang mulia”. Lalu terakhir adalah psikoanalisis Freud yang kira-kira menantang narsisme manusia dengan mengatakan bahwa ego tidak tinggal di rumahnya sendiri. Siapa pemilik rumahnya? Tentu saja sumbangan utama psikoanalisis, yakni ketidaksadaran.

Dari Psikoanalisis Menjadi Psikologi Ego

Psikoanalisis seperti anak Freud yang kini tak lagi hidup bersamanya. Si anak bisa saja diambil oleh orang lain dan dijadikan psikoanalisis “baru” yang barangkali akan sangat berbeda secara ontologis dan epistemologis sebagaimana psikoanalisis Freud. Secara epistemologis, pertanyaan lebih spesifik diarahkan pada psikoanalisis Amerika Utara yang menjadi pusat perkembangan Psikologi Ego (Ego-Psychology). Dalam Psikologi Ego, Goodwin (2017) menyebutkan bahwa fokusnya adalah pa-da tindakan kuratif yang  ditemukan dalam perkembangan normatif, yakni dalam pembentukan identitas dan integritas  ego  sebagai  tujuan utamanya. Namun,  gagasan Psikologi Ego ini justru dikritik oleh para pemikir psikoanalisis. Mengapa demikian? Apabila kita mencermati gagasan Freud,  maka  konflik  psikis  yang  digambarkan  oleh  Freud berusaha untuk dihilangkan, artinya ada satu cetak biru ideal mengenai bagaimana menjadi manusia. Persoalan ini cukup serius apabila diri Anda dianggap menyimpang kemudian Anda disingkirkan dari kehidupan sosial. Dengan adanya cetak biru ideal, maka perubahan tidak diharapkan terjadi, sebab cetak biru menjadi manusia sudah tersedia – keberagaman juga terancam.

Ketika seseorang belajar mengenai perkembangan sosial Erik Erikson (1950), maka orang tersebut akanmenemukan bahwa stabilitas dan kesatuan fungsi ego merupakan prestasi puncak dari perkembangan manusia.Anda mesti jadi manusia adaptif, berperilaku wajar, dan berkontribusi dalam harmoni masyarakat. Atau gagasanHeinz Harmann (1939) yang mengatakan bahwa dalam proses terapeutik, fokus terapis adalah mengorganisasikanfungsi ego untuk membangun otonomi. Dalam gagasan Freud, ego berada dalam tegangan antara dorongan internal dan lingkungan eksternal. Dalam perkembangan teori psikoanalisis yang dikembangkan Anna Freud, kita juga menemukan istilah mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism; disingkat MPD). Dalam MPD, perilaku yang maladaptif akan dikelola oleh seseorang dan orang tersebut akan mengeliminirnya. Singkat kata, ego menjadi struktur inti dari proses terapeutik dan perkembangan manusia. Bukankah ini berarti ketidaksadaran tak lagimenjadi kontribusi penting?

Pada 1970an, Rusell Jacoby menolak Psikologi Ego dan menganggapnya reaksioner. Psikologi Ego mengabaikan struktur dan konteks sosial yang mengkonstitusikan dan memposisikan subyek. Jelas-jelas Psikologi Ego mengabaikan temuan awal Freud dan Breuer dalam studi mereka mengenai histeria. Dalam studi mengenai histeria, Freud menyimpulkan bahwa seksualitas orang yang mengalami menjadi pemantik histeria. Seandainya seseorang mengalami histeria, maka penelusuran sebabnya mesti dilihat dalam seksualitas kanak-kanaknya. Konflik seksual masa kecil memungkinkan pertahanan yang eksesif dan terciptanya jumlah energi afek (quantum of affect) yang direpresi. Jumlahan energi tersebut kemudian kemudian dikonversi ke dalam wilayah somatik dan memunculkan lebam dan ruam pada sebagian tubuh (Verhaeghe, 1998).

Mengapa terjadi konflik seksualitas anak? Goodwin (2017) menuliskan bahwa konflik tersebut menandai bahwa tekanan sosial memengaruhi individu, secara khusus dalam kondisi opresif. Gagasan tersebut digunakan Herbert Marcuse, seorang Freudo-Marxist, dalam tulisan-tulisannya. Marcuse menuliskan bahwa sebelum individu dapat menentukan-diri, individu tersebut ditentukan oleh jejaring relasi sosio-historisnya. Dalam jejaring ini opresi dan represi terjadi sebab individu mesti menerima hukum hidup bersama sekalipun mengalami konflik dengan permintaan instingtualnya (instinctual demands). Dengan kata lain, Marcuse menunjukkan bahwa konsep individudi konstruksi lewat ideologi tertentu di mana ia hidup. Dalam pendekatan Marxisme Fromm, diri yang kompetitifdiproduksi dalam kapitalisme. Sementara itu, diri yang otonom atau mandiri merupakan hasil produksi kapitalisme akhir (neoliberalisme).

Persoalan Psikologi Ego adalah eksploitasi terhadap gagasan topografi kedua Freud. Sebelum tahun 1920,Freud bekerja dengan topografi pertamanya: ketidaksadaran, pra-sadar, dan kesadaran. Dalam ketidaksadaran, Freud mengatakan bahwa segala sesuatu yang direpresi akan dipindah ke alam tersebut. Sementara itu, alam pra-sadar merupakan bagian kesadaran, bedanya adalah alam pra-sadar berisi sesuatu yang kita lupakan tetapi bisa dengan mudah ditampilkan ke dalam kesadaran tanpa psikoanalisis. Alam pra-sadar dan kesadaran ini yang kemudian membentuk ego. Topografi kedua adalah struktur id, ego, dan superego. Dalam topografi tersebut, id berisi dorongan kehidupan (Eros) dan dorongan kematian (Thanatos). Naluri-naluri bawaan, yakni seksual dan agresi, direpresi dalam idEgo terbentuk dari interaksi id dengan dunia luar. Dunia luar tidak mengijinkan id dan memberinya perintah dan larangan. Perintah dan larangan inilah yang kemudian kita sebut superego.

Fokus Freud dalam ego dan narsisisme dibutuhkan dalam mendefinisikan aspek transisi dari topografi pertama ke kedua dan menandai penekanan teoretis dari konflik ke pertahanan-diri. Goodwin menunjukkan bahwa deskripsi Freud soal pembentukan ego (ego formation) dan transformasinya ke dalam hasil terapeutik yang ideal disertai dengan semacam norma hidup kapitalisme akhir (late-capitalism). Dikatakan narsisisme sebab dengan melindungiego (pertahanan diri) maka primasi kultural menjadi perkara penting untuk dipertahankan (Benvenuto & Molino,2009). Dengan demikian, konflik yang dapat diatasi dan tercapainya stabilitas ego merupakan tujuan akhir dariproses terapeutik. Di sisi lain, pemusatan pada ego meminggirkan id hanya sekadar menjadi biological register. Dengan demikian, aspek decentred subject sebagaimana dalam Copernican shift bukan lagi yang penting dipertimbangkan. Justru di situlah masalah muncul.

Kembali ke Freud

Dalam temuannya bersama Breuer, Freud membuat sebuah formulasi demikian: orang histeris menderita terutama dari kenangannya (“hysterics suffer mainly from reminiscences”). Formulasi ini menunjukkan bahwa pengalaman bisa ditolak oleh artikulasi sadar karena sifatnya yang traumatik dan masih tertahan dalam jiwa. Karena mengalami represi, maka artikulasi dalam kehidupan sadarnya adalah berupa perilaku yang disruptif dan simptomatik. Menurut Freud, ketidaksadaran memiliki karakteristik absennya kontradiksi, berisi proses primer(mobilitas kateksis), timeless, dan internalisasi psikis dari realitas eksternal.

Ketiadaan kontradiksi dalam psikoanalisis menjadi dasar bahwa psikoanalisis bersifat anti-esensialisme. Artinya, psikoanalisis berpandangan bahwa subyektivitas, seksualitas, atau identitas kedirian bukanlah esensi yang menetap (fixed), tertentukan (predetermined), abadi (immutable), dan tidak berubah (unchanging). Gagasan Freud soal seksualitas menunjukkan bahwa tidak ada normativitas seksual pada awal anak-anak. Freud mengatakan bahwa kita semua memulai hidup dengan perversi polimorfis (polymorphously perverse) yang diartikan Freud bahwa pada awal masa hidup; kita tidak menyukai salah satu bentuk kesenangan seksual, partner seksual (tipe seksual tertentu), bagian tubuh tertentu, atau interaksi sosial tertentu. Dengan dasar hasrat yang polimorfis ini, kita akan dihadapkan pada kesulitan untuk memecah kategori manusia ke dalam individual dan sosial, keduanya saling berkelindan satu sama lain. Dengan demikian, psikoanalisis akan mengganggu penyelenggaraan psikologidan birokrasi tertentu sebab menolak pengkategorian ketat manusia ke dalam seks, ras, maupun kepribadian.

Bagaimana dengan psikologi analitis yang dikembangkan Carl Gustav Jung? Parker (2014) menuliskan bahwa konsep Jungian, yakni arketip, memuluskan legitimasi ideologis berdasarkan ras. Arketip rasial ini yang kemudian membedakan satu ras dengan ras lainnya dan justru melakukan esensialisasi terhadap kategori rasial. Dalam psikologi  Jungian,  hasrat  seksual  dianggap  bukan  perkara penting dan penekanannya adalah pada pra-sadar yang muncul lewat konsep ketidaksadaran kolektif. Lantas, perbedaan pendekatan ini kemudian menyebabkan psikologi Jungian tidak lagi dianggap dalam tradisi psikoanalisis hari ini. Ketika ditempatkan dalam konteks esensialisme, maka sebuah ilmu akan dengan mudah dianggap sebagai keyakinan yang tak lagi perludipertanyakan. Persis seperti itulah yang juga terjadi pada psikoanalisis. Dalam perkembangannya, psikoanalisis bekerja layaknya meta-narrative atau menjadi sistem teoretis yang memiliki privilese dan lebih superior sehingga dianggap mampu menjelaskan segala sesuatu. Dengan demikian psikoanalisis jatuh hanya sekadar bagaimana menginterpretasi dunia alih-alih menjadi cara untuk bagaimana mengkonstruksi dunia.

Yang menjadi persoalan dalam kebanyakan pendekatan psikologi adalah ambisi untuk mencapai posisi obyektif lewat penyingkiran komponen subyektif. Pertanyaan mengapa seseorang memilih topik tertentu dan cara motifpersonal dan politik berdampak pada penelitian seringkali tidak digubris. Obyektivitas ini menghadirkan penelitian yang seringkali abai pada implikasi etis terhadap hasil penelitian. Sebagai contoh, ada sebuah penelitian dari OctaveMannoni (1990) di Malagasi. Dalam penelitian tersebut, Mannoni menemukan bahwa hanya kelompok, ras, atau bangsa tertentu yang bisa dikolonisasi sebab karakteristik proses psikis yang mendalam. Misalnya, inferiority complex yang mendorong penjajah (coloniser) dan dependency complex yang membuat pihak terjajah (colonised) menerima kondisi keterjajahan. Mannoni mengatakan bahwa dependency complex orang Malagasi ditunjukkan dengan kecemasan yang begitu besar terhadap ancaman terhadap kondisi masyarakat, sehingga semua hal yang berkaitan dengan perubahan terhadap tatanan yang ada sebisa mungkin dihindari. Singkat kata, kultur di Malagasi bersifat statis dan tidak ada kemajuan.

Bagaimana kombinasi subyektivitas dan obyektivitas berlangsung dalam penelitian Mannoni? Klaim soal dependency complex seakan-akan menghakimi masyarakat Malagasi. Di sisi lain, klaim tersebut akan “melukai”masyarakat Malagasi. Namun, Mannoni melakukan analisis lebih jauh. Ia mengatakan bahwa kultur Malagasi yang cenderung takut akan perubahan menunjukkan bahwa ada ketimpangan sosio-politik. Ketimpangan sosio-politik initampak dalam hubungan yang subordinatif (relationship of subordination) Lebih jauh lagi, Mannoni mengatakan bahwa kultur demikian menunjukkan adanya kebutuhan akan dominasi dari otoritas eksternal. Hanya denganlegitimasi terhadap dominasi dan subordinasi, maka kondisi masyarakat terjaga. Apabila tidak, krisis sosial akan terjadi, permusuhan dan kekerasan akan muncul dari ketiadaan patron dan ketidakmampuan untuk menciptakan ikatan. Mannoni tidak hanya menyajikan analisis kritis terhadap kolonialisme, ia bahkan menunjukkan bahwa kolonialisme di Malagasi merupakan kondisi tak terelakkan dan sangat masuk akal.

Psikoanalisis Althusserian: Subyek dari Ideologi

Apa yang dituliskan Mannoni merupakan contoh bagaimana ideologi membentuk subyek Malagasi. Kajian mengenai ideologi dalam psikoanalisis diawali dengan gagasan Louis Althusser (1918-1990). Dalam hal ini, ideologi diartikan sebagai cara pandang kita terhadap dunia. Cara kita hidup sehari-hari, ditentukan oleh ideologi kita. Misalnya cara kita memilih sarapan. Mengapa ketika kita mengetik di mesin pencari dan mencari kata “sarapan” yang muncul kebanyakan adalah  gambar  telur?   Apakah  karena  “telur  itu  enak”? Anggapan “telur itu enak”merupakan bentuk ideologi. Mengapa? Sebab gagasan tersebut mampu menutup gagasan lain, misalnya: “karena telur mudah didapat”. Pertanyaan lebih lanjut adalah, mengapa ada seseorang yang berpendapat bahwa “telur itu enak”? Althusser (2008) menjawab karena terjadi subyektivikasi atau orang dijadikan subyek dari cara hidup tertentu. Althusser mengatakan bahwa “ideology interpellates individuals as subjects” atau “ideologi menginterpelasi individu sebagai subyek-subyek” (Althusser, 2008).

Guna mengeksplorasi tesis bahwa “ideology interpellates individuals as subjects”, maka pemahaman mengenai ideologi sebagai representasi hubungan  imajiner antar individu terhadap kondisi nyata eksistensi perlu dibahassebagai dasar bahwa individu mau menerima ideologi. Dalam ideologi, menurut Althusser, yang digambarkan adalah “relasi mereka terhadap kondisi eksistensi-eksistensi mereka. Relasi inilah yang menjadi pusat dari setiap penggambaran ideologis atau imajiner dari dunia riil.”

Namun mengapa manusia butuh menggambarkan kondisi riil dalam bentuk yang imajiner? Althusser menawarkan dua jawaban. Pertama adalah jawaban yang berasal dari abad ke-19. Raja Lalim atau Pendeta membutuhkan ideologi untuk melanggengkan status quo terhadap rakyat atau umatnya. Dengan pelanggenggan status quo berarti pelanggengan “dominasi dan eksploitasi mereka [Raja Lalim atau Pendeta] terhadap ‘rakyat’ di atas penggambaran yang keliru atas dunia sebagaimana mereka bayangkan.”  Dengan  cara  ini mereka  dapat memperbudak pikiran individu lewat dominasi terhadap imajinasi individu. Kedua adalah berkaitan dengan apa yang menjadi tesis Marx bahwa terjadi “keterasingan material”. Keterasingan (imajiner) material ini sebagai hasil dominasi masyarakat yang teralienasi.

Nah, kenapa ideologi itu tertanam dalam diri individu? Ada tiga hal penting yang perlu dicatat, yakni kepercayaan, ritual, dan praktik. Kepercayaan sendiri merupakan turunan dari ide-ide individu. Sebagai konsekuensinya, maka kepercayaan ini diterjemahkan ke dalam sikap material. Dalam hal ini subyek dengan“sadar” dan “bebas” melakukan praktik atas kepercayaan yang ia miliki. Pengulangan dari ide-ide yang diterjemahakan dalam sikap material berupa praktik kepercayaan inilah yang kemudian disebut dengan ritual.

Apa yang membuat subyek mau terus-menerus melakukan ritual ini? Kini kita sampai pada tesis sentral Althusser bahwa ideologi menginterpelasi (memanggil) individu sebagai subyek. Menurut Althusser, padahakikatnya, manusia merupakan binatang ideologis. Pernyataan ini tidak berarti lain kecuali bahwa indvidu merupakan “always-already subject”, subyek yang menginsafi bahwa ketika ideologi memanggilnya maka tidak salah lagi adalah dia yang dipanggil.

Dalam artikel ini, ideologi berfungsi sebagai pengenalan diri individu  sebagai subyek, atau pengenalan ideologis (recognition). Subyek sendiri kemudian dapat dipahami dalam kerangka Althusser sebagai orang yang tunduk atau menyerahkan diri terhadap sesuatu (subjection). Kebertundukkan ini berasal dari pertanyaan mengenai identitas diri individu, atau “siapakah aku? Sebagai subyek apa?” Lubang diri ini membuka ruangyang butuh diisi. Di ruang inilah ideologi kemudian masuk mengisi.

Karenanya subyek bukan semata-mata yang sadar bahwa dirinya diinterpelasi, subyek hanya tahu bahwa subyek telah membuat keputusan sesadar-sadarnya dalam rangka menjadi seorang subyek. Althusser menuliskan,

“[I]ndividu… diinterpelasi sebagai seorang subyek (yang bebas) dalam rangka agar dia bersediamenundukkan diri secara bebas pada perintah-perintah Subyek atau dengan kata lain agar diabersedia menerima (secara bebas) ketertundukannya.” (Althusser, 2008)

Kebebasan (yang ilusif) ini merujuk pada apa yang disebut Althusser sebagai, meminjam bahasa Lacan, salah pengenalan (misrecognition). Jadi terdapat ambivalensi di sini, sebagai subyek ia menjadi mengenal diri lewatideologi, tetapi sebagai individu ia salah mengenal dirinya. Masalahnya kemudian, apakah tidak ada individu yang semenjak lahir ditempatkan dalam ideologi atau salah pengenalan ini? Sayangnya, Althusser menjawab tidak. Tiap-tiap orang telah ditempatkan dalam ideologi semenjak lahir. Misalnya, semenjak (sebelum) lahir anak sebagai individu dilabeli dengan agama, ras, suku, atau kelas.

Jadi, sebelum kelahirannya, anak itu selalu-telah (always-already) menjadi seorang subyek, telah ditunjuk sebagai seorang subyek dalam dan oleh konfigurasi ideologi familial tertentu di lingkungan mana ia ‘ditunggu-tunggu kelahirannya’. Menjadi penting kemudian, adalah melihat apa yang membuat subyek menyerahkan diri terhadap ideologi tertentu, misalnya ada yang dengan mudah terinterpelasi oleh ideologi agama dan ada pula yang terinterpelasi oleh ideologi politik tertentu. Atau mungkin pertanyaan kritis yang muncul adalah bagaimana seorang individu dapat benar-benar “bersih” dari ideologi? Apa yang terjadi pada individu yang tanpa ideologi? Mungkinkah demikian?

Psikoanalisis Lacanian: Ketidaksadaran Terstruktur laiknya Bahasa

Kajian ideologi dan subyek yang digagas Althusser memberi sumbangan besar mengenai bagaimana psikoanalisis (proses pembentukan subyek) tidak  bisa dilepaskan dari kondisi dan relasi sosial di mana subyek hidup. Kondisi material dan relasi sosial tersebut juga tampil dalam cara kita berbahasa tiap harinya. Karenanya, kajian terhadap bahasa menjadi cara jitu dalam mendekati psikologi secara kritis. Kita dapat menemukan bagaimana psikoanalisis ini bertemu dengan bahasa. Pada praktiknya, kita mengenal segala sesuatu dan bisa mengorganisasikan hidup karena adanya bahasa. Kombinasi psikoanalisis dengan bahasa ini dikerjakan oleh para psikoanalis Prancis, secara khusus oleh Jacques Lacan (1901-1981)  pada  1960an.  Dalam  proses pembentukan subyek, ada 3 konsep penting yang dibahas oleh psikoanalisis Lacanian, yakni  fase cermin (mirror-phase), tatanan simbolik (symbolic order) atau dunia bahasa, dan hasrat (desire).

Pertama, kita akan membahas proses pembentukan subyek dalam fase cermin. Proses pembentukan subyek manusia, menurut Freud, adalah dengan melakukan proses identifikasi. Proses tersebut menjadi konsep  sentral  dalam teori psikoanalisis. Proses ini kemudian dielaborasi lebih jauh oleh Lacan dalam pembagiannya ke  dalam dua proses identifikasi, yakni primer dan sekunder. Proses identifikasi primer sendiri terjadi dalam fase cermin,yang mana dalam fase ini anak mulai mengenal liyan kecil – biasanya adalah ibu. Lacan menyebutkan bahwa fase cermin merupakan fase pertama kali anak mulai melakukan identifikasi.

Kita hanya perlu memahami fase cermin sebagai identifikasi, dalam arti penuh yang diberikan analisis pada istilah tersebut: yaitu, transformasi yang terjadi dalam subjek ketika dia memberi gambaran – yang predestinasi efek fase ini cukup ditunjukkan oleh penggunaan, dalam teori analitik, dari istilah kuno “imago”. (Lacan, 1966/2001, hlm. 1-2)

Dalam pengamatan Lacan (1966/2001), fase ini terjadi antara 6 sampai 18 bulan, di mana anak masih belum mampu secara sepenuhnya mengkoordinasi gerak tubuh. Meskipun demikian, kemampuan visual anak berkembang pesat. Anak melihat pantulannya sebagai sesuatu yang menyeluruh (gestalt). Dalam terminologi Lacanian, gestaltselalu merujuk pada gambaran visual dari liyan (others), yang ditatap anak sebagai yang  menyeluruh  dan terunifikasi.  Liyan  sendiri  bisa  jadi pantulan di cermin atau orang lain. Namun di lain pihak hal tersebut kontras dengan badan yang belum dapat dikoordinasikan dengan baik. Pengalaman inilah yang kemudian menjadikan sianak mengalami badan yang terbelah (fragmented body). Lacan menyebut Umwelt sebagai dunia atau lingkungan luar anak yang dijadikannya tempat bercermin dan Innenwelt atau dunia dalam si anak yang merupakan hasil pencerminan (dalam kaitannya dengan segi empat inter-subyektivitas disebut sebagai moi atau ego).

Karena keseluruhan gambaran yang terbentuk ini mengancam subyek dengan fragmentasi, munculah teganganagresif antara subyek dengan gambarannya yang ideal (menyeluruh). Agresivitas ini merupakan dialektika antara specular image dengan badan yang sebenarnya (real body). Untuk mengatasi tegangan ini, subyek mengidentifikasikan diri dengan gambaran dari liyan yang dianggap terintegrasi dan tak terbelah. Momen   identifikasi ini  disebut Lacan   dengan momen keriangan (jubilation) karena memampukan anak untuk melakukan kontrol imajiner, meskipun demikian juga diikuti dengan reaksi depresif akibat melihat keserba-mampuan ibu.

Selain agresivitas, identifikasi dengan specular image ini memiliki konsekuensi lain yang menyebabkan hubungan ambivalen, yakni erotisisme. Agresi erotis inilah yang kemudian akan mendasari terjadinya proses identifikasi dalam kehidupan selanjutnya. Juga agresi erotis ini merupakan karakteristik esensial dari narsisisme.Karenanya, secara ekstrim narsisisme yang sifatnya cinta-diri (self-love) mendadak bisa berubah menjadi kecenderungan agresi bunuh diri (narcissistic suicidal aggression).

Dalam identifikasi primer, ciri imajiner dalam specular image adalah bentuk salah pengenalan (misrecogntion)sehingga dalam hal ini subyek teralienasi. Teralienasi sendiri, dalam bahasa Lacan, merupakan ciri khaspembentukan subyek. Pada dasarnya subyek terbelah, teralienasi dari dirinya sendiri, tak ada cara menghindardari pembelahan ini, tidak mungkin untuk mengalami keseluruhan. Karenanya proses  identifikasi  selalu  melihat liyan  dan  memantulkan gambaran serta membentuk ego dari hasil cerminan, maka alienasi-lah yang menjadi formatur tatanan imajiner.

Fase cermin yang terjadi dalam tatanan imajiner ini akan dilanjutkan dengan masukya si anak ke dalam tatanan simbolik, di mana ia mulai diperkenalkan dengan dunia bahasa dan menjadi: subyek bahasa. Subyek, dalam terminologi Lacan, adalah makhluk yang berbicara (speaking being). Konsekuensinya, terbentuk dua macam subyek, yakni subyek pengucapan (subject of enunciation) dan subyek dalam pernyataan atau kalimat (enunciated subject). Dengan demikian subyek menjadi terbelah. Keterbelahan ini muncul setelah subyek memasuki fase simbolik, yakni semenjak subyek mengenal bahasa.

Bahasa yang membuat subyek terbelah memiliki pengertian bahwa bahasa  tidak mungkin sepenuhnya menyatakan subject of enunciation. Karenanya subyek tak bisa mengetahui dirinya seutuhnya dan berarti selalu dicegah untuk memiliki pengetahuan (savoir) sepenuhnya terhadap diri sendiri. Ketidaktahuan inilah yang kemudian menghadirkan ketidaksadaran, dan demikian ketidaksadaran merupakan efek penanda, yakni bahasa.

Keterbelahan tersebut, sebagaimana didasari bahwa man as a speaking being, merupakan bentuk lack yang terjadi akibat bahasa. Lacan menyebutnya kastrasi simbolik yang agennya adalah real father, dengan obyek falus imajiner. The real father sendiri merupakan ayah biologis dari subyek, tetapi karena seringkali muncul ketidakpastian ayah biologis, maka real father kemudian dipahami sebagai ia yang dikatakan menjadi ayah biologis subyek – bisajadi diperankan ibu. Karena itu, real father merupakan efek bahasa, lantas dapat dipahami bahwa real father adalah real language, bukan real biology.

Tapi kenapa anak memerlukan bahasa? Seorang anak, sebagaimana m/other yang juga telah mengenal dan terbelah oleh bahasa, harus bisa berbahasa untuk memenuhi kebutuhannya (need). Karenanya, dengan bahasa ia dapat meminta (demand) dan melalui  permintaan tersebut, need dapat tepenuhi, meskipun ada pula yang tak terpenuhi dan kemudian menjadi desire.

Gambar 1. Graph of Desire II

 

Bahasa, menurut Lacan, bukanlah tanda. Melainkan penanda (signifier). Dalam Gambar 1 (Graph of Desire), Lacan menunjukkan bahwa ketika anak menyampaikan apa yang ia butuhkan kepada m/other, bunyinya menjadi penanda. Ketika anak menyadari bahwa penanda yang disampaikannya dapat dipahami m/other maka bunyinya menjadi voice (lewat O). Hal ini terjadi terus menerus sehingga Lacan menyebutnya sirkuit yang terus menerus terjadi dari s(O) atau signifier of the Other menuju O (Other) dan kemudian kembali dari O ke s(O).

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apabila subyek mengalami kastrasi dalam fase simbolik dengan penyerahan diri sebagai subyek bahasa, apa yang harus dilakukan oleh subyek (baik mother maupun subyek)? Pilihannya adalah menerima atau menolaknya. Lacan sendiri berpendapat bahwa hanya dengan menerima dan membuat asumsi kastrasi, subyek dapat mencapai kondisi psikis yang normal. Tidak terdapat pemahaman lain yang lebih gamblang bahwa subyek dapat hidup  “bermasyarakat” lewat penyerahan diri pada bahasa atau pada the-Name-of-the-Father yang notabene adalah tatanan bahasa (the order of language).

Kedua bentuk kastrasi (terhadap ibu dan subjek) menghadirkan pilihan kepada subjek: menerima kastrasi atau menolaknya. Lacan berpendapat bahwa hanya dengan menerima (atau ‘mengasumsikan’) katrasi subjek dapat mencapai tingkat normalitas psikis. Dengan kata lain, asumsi kastrasi memiliki “efek normalisasi”. Efek normalisasi ini harus dipahami baik dari segi psikopatologi (struktur dan gejala klinis) dan identitas seksual. (Evans, 1996)

Apa yang terjadi jika si anak menyangkal the-Name-of-the-Father? Hasilnya adalah seorang yang psikotik. Seorang psikotik adalah mereka yang sama sekali tidak mengenal tatanan. Kita bisa melihat figur tersebut dalam subyek orang gila yang berjalan-jalan di sekitar kita dan tidak bisa diajak berkomunikasi. Orang tersebut tidak berhasil mengembangkan kebutuhan (need) menjadi hasrat (desire).

Setelah kita mengenal fase cermin dan subyek bahasa, kita akan dipertemukan dengan konsep need, demand, dan desire. Dalam terminologi Lacan, need memiliki kedekatan dengan apa yang disebut Freud sebagai insting. Dengan demikian, need merupakan konsep biologi sepenuhnya (pure biological concept). Karena sifatnya yang biologis semata, maka need telah ada semenjak anak lahir dan belum mengenal bahasa. Need sendiri berupa hasrat yang menggebu namun dapat hilang ketika terpenuhi dan dalam keadaan fisik yang yang butuh energi ia akan muncul dan kemudian perlu diredakan kembali lewat pemuasan.

Dalam perkembangannya, bayi yang need-nya tak terpenuhi akan menangis. Tangisan bayi ini bukan semata-mata instinctual need, melainkan juga sekaligus adalah sistem simbolik. Dengan kata lain, tangisan merupakan wujud permintaan (demand) si anak secara simbolik, meskipun belum dalam bentuk linguistik yang terstruktur. Dalam hal ini, demand merupakan tindakan tertentu untuk mendapatkan respon dari pihak tertentu, yakni ibu. Anak yang lapar akan menangis menjadi penanda bahwa si anak meminta liyan untuk memenuhi demand-nya. Pemenuhan demand ini tak semata-mata menunjukkan bahwa need si anak terpenuhi, melainkanjuga bahwa ada liyan yang mencintai si anak (Eidelsztein, 2009). Bukan lagi semata-mata need, kehadiran liyan (presence of the other) menjadi bukti bahwa yang lain tersebut mencintai si anak.

Namun, meskipun need yang diminta si anak terpenuhi, pada kenyataannya anak tetap meminta cinta. Karenanya, ada sesuatu yang tak bisa dipuaskan. Kebutuhan yang kekurangan permintaan akan menyisakan sesuatu. Nyatanya kita menyatakan bahwa ada sesuatu dalam kebutuhan yang tak bisa menjadi permintaan; sisa-sisa itu adalah apa yang kita sebut dengan desire. Lacan menulis,

“Hasrat bukanlah nafsu makan untuk kepuasan, atau permintaan akan cinta, tetapi perbedaan yang dihasilkan dari pengurangan yang pertama dari yang kedua, fenomena pemisahan mereka (Spaltung).” (Lacan, 1966/2001, hlm. 219) 

Bagi Lacan, mengikuti Baruch Spinoza, desire merupakan esensi manusia. Desire adalah pusat dari eksistensi manusia sehingga desire menjadi fokus utama dalam psikoanalisis. Psikoanalisis sendiri merupakan ilmu yang mengutak-atik ketidaksadaran, karenanya desire yang dimaksud di sini selalu ada dalam konteks ketidaksadaran. Dalam proses terpeutis Lacanian, tugas analyst adalah menemukan desire milik analysand lewatapa yang dikatakan oleh analysand. Meskipun demikian desire ini tak dapat ditemukan analyst sepenuhnya. Mengetahui kebenaran seluruhnya adalah tidak mungkin, karenanya dalam membuka seminar Television, Lacan (1980) menyatakan bahwa,

“Saya selalu mengatakan yang sebenarnya. Tidak seluruhnya benar, karena tidak ada cara untuk mengatakan semuanya. Mengatakan semuanya secara harfiah [secara material] tidak mungkin: kata-kata gagal. Namun melalui kemustahilan inilah kebenaran menjadi kenyataan.” (Lacan, 1990, hlm. 2)

Karena kegagalan kata-kata dalam membuat permintaan (demand), maka usaha untuk memuaskan desire hanya akan berakhir dengan desire yang lebih besar lagi. Dalam kaitannya, desire tak pernah bisa terpuaskan, dan justru terjadi reproduksi atasnya. Lacan sendiri menyebutkan bahwa “desire is articulated but it is not articulable.”Desire  bisa disampaikan dalam struktur bahasa kepada Other, namun dikatakan tidak articulable karena ada bagian need yang  tak sampai  pada demand, obyek inilah yang kemudian akan menyebabkan desire, atau obyek a.

***

Kerumitan berbahasa dalam psikoanalisis Lacanian menyebabkan teori tersebut kurang dibahas. Namun, pada masa kini, psikoanalisis menyediakan kerangka pandang yang paling relevan. Lacan berhasil menunjukkan bahwa level societal dan individual tidak bisa dipisahkan, yakni lewat bahasa. Salah satu tokoh psikoanalisis Lacanian yang paling tenar hari ini adalah Slavoj Žižek, Žižek menggabungkan pemikiran Hegel, Marx, teologi kristiani, dan Lacan dalam satu ruangan.

Žižek (2020) mempertanyakan; sesungguhnya pandemi COVID-19  hari ini menjadi simptom atau penanda dari apa? Žižek membuka tulisannya dengan sebuah ayat dari Yohanes 20:17 yang tertulis “touch me not” atau “jangan sentuh aku”. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa sentuhan tidak bisa mendekatkan satu sama lain, kita hanya bisa mendekati satu sama lain lewat mata. Tetapi persoalan tidak hanya di situ. Sebetulnya, apa yang bisa kita pelajari dari pandemi ini? Menurut Žižek, kita justru bisa bertanya lebih jauh; apa yang salah dengan sistem kita sehingga kita tidak siap menghadapi pandemi ini sekalipun sudah ada para ilmuwan yang mengingatkan kemungkinan berlangsungnya pandemi?

Žižek  menjawab pertanyaan di atas sembari menunjukkan bahwa kapitalisme-lah yang menjadi biang keladi dari semua kondisi saat ini. Kapitalisme yang memungkinkan penyebaran virus, kapitalisme yang menyebabkan sistem kesehatan kita tidak siap menghadapi pandemi. Mengapa demikian? Sebab kapitalisme merupakan musuh utama bencana ekologis dan kapitalisme pula yang memungkinkan ketidakadilan global (global inequality) bisa terjadi. Ketidakadilan global menandai bahwa kesejahteraan tidak terbagi secara merata atau solidaritas antar-manusia tidak terjadi. Ketiadaan solidaritas tampil dalam ketidaksiapan kita dan sistem dunia dalam menghadapi pandemi. Bahkan, antar-negara bisa saling serang karena pandemi. Karena itu, dunia pasca-pandemi mestilah dunia dengan solidaritas dan memikirkan kesejahteraan satu sama lain.

Pandemi menunjukkan injungsi Lacanian, fetishistic disavowal, dengan dalil: “I know very well… but nonetheless..” (“Aku tahu betul… tetapi meskipun demikian”). Dalil tersebut dapat kita isi demikian: “Aku tahu betul bahwa aku bisa saja membawa virus dari luar rumah, tetapi meskipun demikian aku tetap keluar”; “Aku tahu betul bahwa membuka lahan hijau untuk industri akan memungkinkan lingkungan rusak dan virus-virus baru muncul, tetapi meskipun demikian aku tetap membuka lahan”; dan seterusnya.. dan seterusnya.

 

Daftar Acuan

Althusser, L. (2008). On ideology. Verso.

Eidelsztein, A. (2009). The graph of desire.Using the work of Jacques Lacan. Karnac Books.

Evans, D. (1996). An introductory dictionary of Lacanian Psychoanalysis.  Routledge.

Freud, S. (1917/2015). A general introduction to psychoanalysis. Wordsworth Editions Ltd.

Fromm, E. (1956). The art of loving.  Harper.

Fromm, E. (1991/2005). Marx’s concept of man. Continuum.

Goodwin, T. (2017). The radical implications of psychoanalysis for a critical social psychology. Dalam B. Gough (ed.),The Palgrave handbook of critical social psychology (hlm. 81-100). Palgrave Macmillan.

Lacan, J. (1966//2001). Ecrits: A selection (Penerj. Alan Sheridan). London & New York: Routledge.

Lacan, J. (1980). Television: A challenge to the psychoanalytic establishment (Penerj. J. Mehlman). W.W. Norton and Company, Inc

Mannoni, O. (1990). Prospero & Caliban: The psychology of colnization. Michigan University Press.

Parker, I. (2014). Psychonalysis and critical psychology. Dalam D. Hook (ed.), Critical psychology (hlm. 139-161).UCT Press.

Verhaeghe, P. (1997). Does the woman exist? From Freud’s hysteric to Lacan’s feminine. Other Press,Llc.

Žižek, S. (2020). Pandemic! COVID-19 shakes the world. OR Books.

 

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *