Pada tulisan sebelumnya, kita diajak untuk memahami bahwa apa yang disebut wacana saling bertumbuk atau melengkapi satu sama lain; penekanannya adalah pada kontestasi wacana. Kontestasi ini menunjukkan bahwa ada perselisihan antar-kuasa. Karena bertemu dalam konteks relasi kuasa, maka wacana tersebut akan menghasilkan implikasi politis tertentu. Apa yang dimaksud dengan implikasi politis ini merujuk pada bagaimana nantinya wacana akan menentukan tindakan sosial (social action) tertentu.
Kontestasi wacana ini dapat kita telusuri dari gagasan dalam konstruksionisme sosial berupa kuasa (power). Dalam konstruksionisme sosial, representasi ‘orang’ berpotensi mendukung ketimpangan kuasa di antara orang-orang, bahkan melihat ketimpangan sebagai sesuatu yang wajar. Manifestasi dari kuasa ini bisa berupa kepemilikan waktu luang, uang yang lebih banyak dibanding orang lain, sumber daya yang lebih dibanding orang lainnya, juga status atau jabatan tertentu. Ketika Anda memiliki jabatan tertentu, misalnya seorang manajer di sebuah perusahaan, maka boleh jadi segala kebijakan yang Anda ambil akan berdampak terhadap karyawan. Pemahaman kuasa dalam konteks ini bisa diartikan sebagai kelompok tertentu memiliki kuasa yang lebih sedikit dibanding kelompok lain.
Kepemilikan sumber daya atau privilese tertentu ini hanyalah satu bagian cerita kecil dalam ‘kuasa’ yang dimaksud dalam konstruksionisme sosial. Untuk memahami bagaimana sebuah ketimpangan kuasa beroperasi, kita perlu memahami bagaimana praktik diskursif memungkinkan, menciptakan dan membuat bentuk tertentu dari kehidupan sosial. Apabila orang atau kelompok tertentu dikatakan lebih punya kuasa dibandingkan yang lain, maka kita perlu melihat bagaimana wacana dan representasi yang menguatkan ketimpangan tersebut.
Salah satu tokoh penting yang membahas bagaimana kuasa dan wacana ini saling berkelindan adalah Michel Foucault (1926-1984), seorang pemikir asal Prancis. Pemikiran Foucault kerap disebut sebagai post-strukturalis — sekalipun ia sendiri menolak label termaksud. Secara singkat, post-strukturalisme meyakini bahwa sebuah struktur senantiasa berubah. Gagasan utama Foucault mengenai kuasa adalah bahwa ‘kuasa berbentuk pengetahuan’. Foucault menggunakan kuasa dan pengetahuan secara bergantian. Secara umum, kita memandang bahwa dengan memiliki pengetahuan maka orang akan memiliki kuasa. Namun, apa yang digagas Foucault sama sekali berbeda. Ia menunjukkan bahwa kuasa yang dipraktikkan akan membentuk pengetahuan tertentu. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya kita akan membicarakan bagaimana Foucault memahami kuasa.
Foucault dan Kuasa
Sebelum masuk pada beberapa konsep penting dalam wacana dan kuasa yang digagas Foucault, saya akan menjabarkan singkat mengenai latar belakang Foucault. Pada 15 Oktober 1926 ia dilahirkan di Poitiers, Prancis dan meninggal pada 25 Juni 1984 karena AIDS. Pada usia 26 tahun, Foucault memperoleh diploma dalam bidang psikologi. Dalam bidang ini ia mengembangkan sejarah kritis psikologi berkaitan dengan kegilaan, Madness and Civilization (1961). Dalam buku tersebut, Foucault mempertanyakan konsep kegilaan yang diusung dari akhir abad ke-18 sampai saat itu. Pertanyaan utama yang ingin dijawabnya adalah bagaimana orang yang dianggap gila menjadi figur liyan (yang disingkirkan) dalam keseharian masyarakat. Dengan memfokuskan diri pada kegilaan, ia kembali menegaskan pentingnya bahasa dalam disiplin ilmu psikologi. Karena itu, apa yang disebut analisis Foucauldian senantiasa mencermati bahasa dan penggunaannya (Willig, 2008).
Dengan melihat penggunaan bahasa, Foucault menemukan bahwa konsep-konsep yang terbentuk dalam keseharian seperti kegilaan, penjara, atau seksualitas; terbentuk berdasarkan pengetahuan dari pihak yang berkepentingan. Misalnya saja, kegilaan berkaitan dengan pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk menentukan siapa yang gila dan siapa yang tidak. Apa yang menjadi sumbangan Foucault dalam ilmu sosial, secara khusus psikologi, adalah gagasan mengenai tubuh dan seksualitas merupakan konstruk budaya ketimbang sesuatu yang alamiah (Armstrong, t.t.).
Sebagaimana kita bahas dalam tulisan sebelumnya, wacana merupakan menifestasi dari penciptaan pengetahuan. Cheek (2008) menuliskan bahwa wacana merujuk pada cara berpikir dan berbicara mengenai aspek realitas tertentu. Wacana ini menata realitas agar berlangsung dengan cara tertentu (Kendall & Wickham, 1999; Cheek (2008). Karenanya, wacana berbentuk serangkaian pernyataan yang mengkonstruksi objek wacana dan menyusun bagaimana posisi subjek terhadap wacana termaksud (Parker, 1994). Misalnya saja mengenai wacana seks dan seksualitas, Foucault (1984) menunjukkan bahwa seks dipahami sebagai dorongan instingtual-biologis dan psikis yang memiliki hubungan kuat dengan identitas. Hubungan kuat terhadap identitas seseorang ini berdampak pada bagaimana seseorang mengekspresikan perilaku seksual maupun perilaku sosialnya. Apabila pada masa Victorian seks direpresi dan orang merasa bersalah apabila melakukannya tanpa tujuan reproduksi, maka pada masa setelah 1960 subjek Eropa justru merasa bersalah apabila melakukan hubungan seks hanya demi tujuan reproduksi.
Contoh lain adalah terkait perilaku tidak sadar. Sebetulnya, apa itu kesurupan? Ratusan tahun lalu, atau bahkan hingga kini, perilaku tidak sadar barangkali akan dianggap sebagai bentuk dari kesurupan jiwa-jiwa jahat (Burr, 1995). Perlahan dapat kita amati bahwa perilaku tidak sadar tersebut kita anggap sebagai ‘gangguan mental’. Apa yang kita anggap pengetahuan merujuk pada konstruksi tertentu atau versi fenomena yang dicap sebagai ‘benar’ dalam masyarakat. Dengan kata lain, pengetahuan atau pandangan yang berlaku umum dalam sebuah budaya pada masa tertentu amatlah erat dengan kuasa.
Dalam konsep Foucauldian, istilah wacana digunakan untuk menggantikan kata kuasa/pengetahuan (power/knowledge). Sebab itu, untuk menjelaskan wacana, perlu dijelaskan lebih jauh soal kuasa/pengetahuan yang dimaksud Foucault dalam karyanya. Foucault menunjukkan bahwa seorang peneliti wacana mesti memusatkan perhatian pada bagaimana orang-orang memproduksi berbagai macam pernyataan yang berbeda mengenai suatu objek (Kendall & Wickham, 1999). Cara memproduksi ini didasari dengan adanya kuasa yang membangun sebuah pengetahuan tertentu. Menurut Foucault, tidak ada ilmu pengetahuan yang bebas nilai (Cheek, 2008). Karenanya, dapat kita lihat bahwa kuasa bukanlah semacam bentuk posisi tertentu yang mana dimiliki orang tertentu dan tidak pada orang lainnya, melainkan efek dari wacana atau kuasa untuk menentukan kedudukan yang lain (Burr, 1995).
Kuasa dalam istilah Foucaldian dipahami sebagai yang menjaga agar sesuatu tetap berlangsung (Kendall & Wickham, 1999). Menurut Kelly (t.t.) terminologi kuasa, dengan demikian, bukan merujuk pada suatu institusi atau figur tertentu, melainkan apa yang terkandung dalam wacana yang dibawa institusi tersebut. Karena bukan suatu figur, kuasa bisa artikan sebagai sebuah strategi yang memelihara antara apa yang tampak dan apa yang terkatakan; yang terjadi adalah hubungan antar-kuasa yang mengitari objek (Foucault, 1994; Lynch, 2011). Dengan adanya kuasa, maka kenyataan bisa berjalan dan terawat sebagaimana dipahami dan diterima orang sebagaimana apa yang biasanya terjadi (Kendall &Wickham, 1999; Kelly, t.t.). Sebagai contoh, Foucault (1977) menunjukkan bagaimana penjara sebagai suatu produk yang memperkenalkan apa itu “kriminalitas”. Di sisi lain, segala pernyataan yang di sekitar kriminalitas menghasilkan bentuk tampak yang memperkuat hadirnya penjara — apabila Anda melakukan tindak pidana kriminalitas, maka Anda berpotensi untuk dipenjara.
Dalam contoh tersebut, dengan mudah akan ditemukan hubungan antara istilah “penjara” dengan “kriminalitas”, yakni bahwa kuasa adalah sesuatu yang produktif. Foucault menyebutkan bahwa kuasa bersifat positif dan bukan negatif, yang artinya memproduksi suatu pengetahuan tertentu (Foucault, 1982; Kendall & Wickham, 1999; Cheek 2008). Sifat “memproduksi” ini menunjukkan bahwa pada dasarnya kuasa itu bukanlah sesuatu yang represif atau dimiliki, melainkan dipraktikkan (Lynch, 2011). Bahkan, kegagalan kuasa tampil dalam bentuk represi. Ketika represi dilakukan maka hal tersebut menandai bahwa kuasa/pengetahuan tidak bekerja secara efektif. Karena itu pertanyaan yang tepat berkaitan dengan kuasa bukanlah ‘apa itu kuasa?’ melainkan ‘bagaimana kuasa bekerja?’
Lynch (2011) merangkum temuan Foucault soal kuasa. Pertama bahwa (1) kuasa terdiri dari bermacam-macam hubungan kekuatan. Karena berasal dari berbagai macam kekuatan di dalamnya, maka (2) kuasa ini merupakan sebuah proses yang tidak statis dan akan terus-menerus berubah. Pada tahun 1990 dikenal istilah eksekutif muda (youth, urban and professional), sementara pada saat ini orang muda cenderung digambarkan dengan pekerjaan yang juga adalah hobi (youth, urban and creative). Dari proses-proses tersebut, (3) diproduksi berbagai macam hubungan dan sistem yang bersifat lokal maupun global. Foucault menyebut hubungan dan sistem yang tercipta dalam konteks lokal sebagai taktik, sementara yang global ia sebut sebagai strategi (global patterns of power). Apa yang ia sebut strategi merupakan (4) kombinasi dan serangkaian dari taktik lokal. Atau dalam contoh seorang muda dengan pekerjaan kreatif terbentuk dari pola-pola lokal dalam menghadapi perkembangan dan cara memperoleh modal untuk hidup.
Kuasa yang Mendisiplinkan
Sebagaimana disebut di atas, Foucault menolak untuk melihat kuasa sebagai kekuatan yang represif. Kuasa justru menjadi efektif dan produktif ketika menghasilkan pengetahuan tertentu. Sebagai contoh, pada abad ke-18, terkait dengan pertumbuhan jumlah penduduk, berimplikasi pada persoalan kesehatan publik atau kondisi rumah tangga yang kemudian memunculkan konsep ‘populasi’. Konsep ‘populasi’ ini memiliki implikasi yang berbeda dengan konsep ‘kawula’ dalam monarki. ‘Kawula’ berarti ada unsur kesetiaan terhadap si monarch atau pimpinan tertinggi suatu monarki (raja). Sementara itu, melalui konsep ‘populasi’, konseptualisasi penduduk dalam sebuah wilayah atau negara akan dibawa pada pertanyaan manajemen dan kontrol.
Foucault melihat bahwa salah satu arena utama dari manajemen dan kontrol ini adalah seksualitas (Burr, 1995). Ia berpendapat bahwa pada inti persoalan ekonomi-politik dari populasi adalah seks. Hal tersebut berimplikasi pada kebutuhan untuk menganalisis tingkat kelahiran, usia perkawinan, kelahiran yang sah atau tidak, perkembangan dan frekuensi melakukan hubungan seksual, cara membuat subur atau tidak subur, efek dari kehidupan tanpa perkawinan atau pelarangan terkait seks. Hal yang muncul dari wacana tersebut adalah perubahan dari perdebatan publik soal pesta pora dari para orang kaya, bujangan, dan orang liberal ke wacana bagaimana perilaku seksual masyarakat dijadikan objek analisis dan target intervensi. Singkatnya, seks menjadi area yang menarik bagi negara.
Perhatian berlebihan pada seks ini kemudian membawa implikasi sosial berupa lahirnya polisi-polisi moral. Bentuk awalnya adalah memanfaatkan kedudukan gereja. Salah satu contoh yang paling populer adalah bentuk pengakuan dosa. Dengan hadirnya kuasa yang mengatakan bahwa ada praktik sosial yang diijinkan dan tidak diijinkan, maka muncul konsep baru yang kita kenal sebagai seksualitas menyimpang dan normalitas. Bentuk penyimpangan seksual, praktik yang tidak umum, dan immoralitas seksual dimungkinkan muncul dengan model wacana seksualitas sebagaimana dijelaskan di atas.
Praktik pengakuan dosa berkembang menjadi bentuk kontrol sosial ketika orang kemudian melakukan internalisasi proses tersebut (Burr, 1995). Apabila tadinya dilakukan lewat gereja-gereja, kini orang melakukan pemeriksaan diri, mempertanyakan normalitas seksual dirinya, dan melakukan penyesuaian terhadap konsepsi normalitas seksual. Praktik kuasa penyelidik (inquisitor) gereja, kuasa pemeriksaan diri, dan pengakuan dosa kemudian berkembang ke dalam ranah yang lebih luas misalnya medis atau psikiatri. Dalam psikoanalisis klasik, kita akan menemukan bahwa untuk memecahkan persoalan kepribadian dan hubungan, kita mesti menemukan kondisis seksualitas kita yang sesungguhnya. Kehidupan personal kemudian dipsikologisasi dan menjadi target intervensi para ahli. Inilah yang kemudian disebut Foucault sebagai kuasa pendisiplinan (disciplinary power). Bagi Foucault, kuasa pendisiplinan merupakan bentuk kontrol yang jauh lebih efektif dan efisien.
Tujuan dari pendisiplinan adalah menjinakkan tubuh sehingga perilaku manusia dapat dikontrol. Dalam pendisiplinan ini, terjadi pula pemantauan psikologis terhadap individual agar tercipta normalisasi sebagaimana subjek yang dikehendaki berdasarkan kuasa (Kelly, t.t.). Dengan pendisiplinan ini, tubuh dijadikan ajang untuk mempraktikkan kekuasaan agar bisa dimanipulasi demi objek dan instrumen kuasa (Hoffman, 2011). Dengan kepatuhan tubuh terhadap kuasa, maka akan dimungkinkan pula tubuh menjadi produktif atau dengan kata lain mewariskan kekuatan dari kuasa (Hardiyanto, 1997).
Dengan adanya disiplin tubuh, Hoffman (2011) menyatakan bahwa hubungan antara kegunaan dengan penjinakkan tubuh akan semakin kuat dengan adanya kepatuhan. Tidak hanya memproduksi individu-individu, bentuk kuasa berupa disiplin ini akan menciptakan individualitas atau kualitas dari seorang individu yang bisa diterima dalam sebuah masyarakat berdasarkan normalitas jaman. Lewat pendisiplinan maka akan terjadi distribusi kuasa dengan menata individu dalam ruang atau pembatasan tertentu. Misalnya saja dalam suatu budaya seorang pria yang berselingkuh akan mengalami sanksi sosial yang cenderung lebih rendah daripada seorang wanita yang berselingkuh.
Disiplin bekerja dengan menyalurkan individu-individu, mengontrol berbagai aktivitas, mengorganisir kenyataan dan menyusun kekuatan yang mana secara bersamaan memproduksi individualitas secara terpisah-pisah, organik, genetis, dan sekaligus tergabung (Hoffman, 2011). Beberapa teknik dasar dalam pendisiplinan ini adalah observasi yang dilakukan secara hirarkis, normalisasi penilaian dan pemeriksaan. Misalnya saja berkaitan dengan perselingkuhan pada hubungan perkawinan, maka teknik-teknik tersebut muncul dalam pernyataan seturut pandangan institusi keagamaan bahwa perselingkuhan dianggap melanggar norma monogami (observasi secara hirarkis), selingkuh itu secara moral salah (normalisasi penilaian), dan orang yang selingkuh merasakan bersalah atau mesti meminta maaf lewat mengaku dosa (pemeriksaan).
Dalam konteks pemeriksaan inilah kemudian Ilmu Psikologi dianggap sebagai bentuk kuasa pendisiplinan. Alih-alih dilihat sebagai pengetahuan yang mampu meningkatkan kesejahteraan manusia (proyek pembebasan), psikologi justru dilihat sebagai salah satu bentuk mesin kontrol. Pengawasan (surveillance) membutuhkan informasi mengenai orang, informasi ini kemudian digunakan untuk melegitimasi perilaku yang ‘sehat’ atau ‘secara moral diterima’. Kita mungkin dapat menemukan produknya berupa tes intelegensi, inventori, pengukuran sikap dan keyakinan. Pengukuran tersebut berpotensi untuk mengkategorikan orang untuk kemudian mengambil sebuah bentuk ideal sebagai wujud wacana yang dominan.
Arkeologi Pengetahuan
Sampai di sini, baik untuk dicatat bahwa Foucault tidak melihat munculnya penokohan dalam wacana atau pengetahuan tertentu sebagai hasil niatan (machinations) dari kelompok yang kuat. Alih-alih menempatkan seorang atau kelompok tertentu, Foucault lebih melihat mengapa kondisi praktik dan sosial tertentu lebih cocok dalam menyediakan kultur yang sesuai untuk suatu representasi yang lain. Misalnya, mengapa banci jauh lebih bisa diterima dibandingkan homoseksual dalam konteks Indonesia? Oetomo (1996) menunjukkan bahwa banci lebih mudah diterima di kalangan masyarakat karena ia berada dalam kelas bawah dan populer. Sementara itu, homoseksual dianggap erada dalam kelas atas dan memiliki privilese tertentu. Karenanya, sentimen kelas menentukan bagaimana orang memandang konsep banci atau homoseksual. Dalam perkara melihat bagaimana wacana dominan ini ‘bisa menjadi dominan’, Foucault menawarkan pendekatan yang ia namakan ‘arkeologi pengetahuan’.
Arkeologi pengetahuan merupakan cara untuk membawa sebuah wacana pada saat pertama kali wacana tersebut muncul (Burr, 1995). Tentu saja, ini dibutuhkan usaha yang tekun untuk mencari bagaimana suatu wacana muncul dan dalam konteks yang bagaimana. Poin yang dituju Foucault adalah dengan kita bisa memahami asal-usul cara kita memahami diri kita dan dunia, kita bisa mulai mempertanyakan legitimasi dari wacana tersebut atau bahkan menolaknya. Foucault juga menyatakan bahwa cara ini dapat membedah adanya wacana tertentu yang tidak tersuarakan akibat kalah dominan dengan wacana lainnya — suara mereka yang dianggap gila, nakal, abnormal, tidak berdaya.
Lewat penggunaan metode analisis arkeologi ini, Foucault bisa memproduksi pengetahuan baru terkait institusi seperti klinik dan penjara. Salah satu bentuk produksi pengetahuan baru dapat kita baca dalam tulisan Kushner (2019). Merujuk pada pengalaman Ruth Wilson Gilmore, pemikir yang berjuang untuk menghapuskan penjara, Kushner mengatakan bahwa penjara bukan satu-satunya institusi yang mampu menyelesaikan kriminalitas. Meskipun ada penjara, kriminalitas tetap berlangsung. Gilmore menawarkan wacana baru sebagai bentuk hukuman, yakni pelayanan sosial. Di Spanyol, orang diwajibkan untuk melakukan pelayanan sosial sepanjang 7 tahun saat melakukan kriminalitas. Cara ini terbukti lebih efektif dalam konteks Spanyol. Hukuman digantikan dengan penghargaan terhadap martabat manusia.
Foucault tidak menunjukkan secara jelas petunjuk untuk mempraktikkan metode analisis arkeologi. Kita tidak memiliki standar untuk menilai sebuah karya, tidak ada prosedur untuk menentukan yang bisa kita gunakan untuk menentukan apakah karya arkeologis tertentu lebih baik dibanding karya yang lainnya. Sebagaimana akan kita lihat nantinya, inilah problem yang akan muncul dalam berbagai penelitian wacana belakangan ini.
Wacana, Kuasa, dan Identitas
Salah satu poin penting dalam Foucault adalah gagasan bahwa wacana menyediakan cara kerja orang dalam memahami pengalamannya sehari-hari dan kehidupannya untuk melayani tujuan kontrol sosial dan proses ini tidak dikenal oleh kita sebagai pelakunya. Apabila kita menyadari bahwa kita dikontrol, maka kita tidak akan membiarkannya terjadi. Ketidaksadaran akan operasi kuasa inilah yang kemudian dikatakan Foucault bahwa kuasa hanya bisa ditolerir dalam kondisi bahwa kuasa tersebut menopengi bagian paling substansialnya. Keberhasilan kuasa adalah kemampuannya untuk menyembunyikan bagaimana mekansime kuasa tersebut berlangsung.
Sebagai contohnya, kita bisa ambil dari cara pandang KS yang dipraktikkan dalam gagasan feminisme. Terkait pembahasan cinta romantis, kita dengan mudah menemukan gambaran dalam film dan televisi mengenai cinta sejati, cinta anak muda, cinta orang dewasa, cinta pada pandangan pertama, dan cinta yang tak terbalas. Para musisi menyanyikannya, majalah menuliskannya, dan kita sendiri sesekali menanyai diri kita apakah kita sedang mengalami cinta romantis. Singkatnya, cinta romantis mengatur bagaimana pikiran, emosi, dan perilaku kita. Apakah gambaran dan asumsi dari wacana cinta romantis? Apa yang hendak dikatakan olehnya? Pertama, cinta romantis menampilkan diri sebagai ciri alami dari manusia dan terkait dengan ikatan antar-manusia (secara khusus heteroseksual). Cinta romantis tampak mempererat emosi dan memperkuat hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Kedua, cinta romantis merupakan dasar untuk pernikahan dan kehidupan berkeluarga, dan perkawinan dilihat sebagai puncak yang wajar dan alami dari ikatan romantis. ‘Jatuh cinta’ kemudian merintis jalan menuju ‘sebuah kepedulian’, hubungan seksual perkawinan, dan perkawinan.
Wacana mengenai ‘cinta romantis’, ‘perkawinan’, dan ‘keluarga’ mungkin menjadi cara kita untuk hidup saat ini, menjadi cara wacana-wacana tersebut dikonstruksi dan cara kita mengorganisasikan kehidupan. Namun, bisa jadi dengan wacana tersebut kita ditempatkan dalam kerangka bahwa kita mengalami ‘cinta romantis’, ‘menikah’, dan ‘berkeluarga’ merupakan kepentingan dari suatu kelompok yang kuat. Misalnya dalam cara pandang Marxist klasik, perkawinan dan keluarga memainkan peran penting dalam memelihara ekonomi kapitalis. Sebagai seorang pekerja, laki-laki ‘diharuskan’ tampil di muka umum dan siap untuk menjual tenaganya. Sedangkan perempuan, memiliki peran penting dalam mereproduksi gagasan tenaga pekerja lewat pembaharuan generasi melalui kelahiran anak yang nantinya akan memiliki peran penting dalam ekonomi kapitalis. Gagasan mengenai ‘upah keluarga’ dengan demikian memperpanjang kisah mengenai perempuan sebagai penyedia ‘layanan gratis’ bagi suami dan keluarganya. Namun, apabila Anda menanyakan kepada seseorang kenapa mereka menikah, maka kita akan menemukan bahwa wacana cinta romantis yang lebih dominan. Wacana cinta romantis berhasil merubah susunan ekonomi kapitalis menjadi narasi yang menguntungkan bagi perempuan maupun laki-laki, hubungan saling peduli yang sifatnya personal dan emosional.
Sampai pada bagian ini kita bisa mencatat: poin penting mengenai sifat wacana adalah bahwa suatu wacana akan berkontestasi dengan wacana lain. Inilah yang kemudian dikatakan Foucault mengenai kuasa dan resistensi berjalan beriringan. Di mana ada kuasa, di sana ada resistensi.
Dalam kajian terkait lesbian, kita akan menemukan tulisan Kitzinger (1987, 1989) yang menunjukkan bagaimana para lesbian menggunakan wacana ‘cinta romantis’ dan ‘aktualisasi diri’ dalam menampilkan diri bahwa mereka lebih serupa daripada berbeda dari perempuan pada umumnya (Burr, 1995). Kitzinger menggambarkan bahwa kerangka humanistik digunakan para lesbian dengan menekankan kedirian lesbian dan tidak pentingnya pilihan seksual (liberal humanist discourse).
Wacana liberal humanis ini menjadi wacana yang dominan dalam masyarakat kontemporer yang mana kedirian yang penuh dan bebas menjadi inti dari pandangan tersebut. Wacana ‘individu’ ini menjadi pusat atas segala organisasi sosial ekonomi. Setiap manusia berhak untuk berhasil, berbahagia, dan mendapatkan kepuasan diri. Wacana ini menekankan individualitas dan keunikan individu. Dalam penelitian Kitzinger, beberapa subjek wawancara mengatakan demikian: ‘Aku jatuh cinta dengannya, dan tampaknya jika aku mencintai seseorang secara mendalam dan menggebu, tak ada salahnya’ dan ‘Buatku, [cinta] menghidupkan otonomi dan kebebasanku… karena buatku menjadi lesbian adalah pengalaman yang positif — kebebasan, kebahagiaan, kedamaian dengan diri, segalanya!’ Kita bisa mengatakan bahwa wacana yang muncul adalah berupa ‘cinta sejati’ dan ‘kebahagiaan sejati’. Penggunaan kedua wacana tersebut merupakan bentuk kejujuran moral yang meyerobot masuk ke dalam cara pandang manusia pada umumnya (heteroseksual dan otonomi). Dengan demikian, Kitzinger mengatakan bahwa orang-orang yang mengalami ketertindasan seringkali terdorong untuk melakukan konstruksi identitas yang melakukan peneguhan terhadap tatanan moral dominan.
Ada dua poin utama yang mesti dicatat. Pertama, kisah soal lesbian mendemonstrasikan pada kita bahwa identitas diperjuangkan oleh orang-orang. Kita tengah berada dalam sebuah kondisi untuk menyatakan dan melakukan perlawanan terhadap wacana yang dominan. Kedua adalah bahwa kuasa bersifat relatif. Adalah suatu kekeliruan bahwa kita berpikir bahwa wacana sekadar menguntungkan kelompok tertentu. Sebagai contoh, dalam pembahasan mengenai ‘wacana dorongan seksual laki-laki’ kita akan menemukan bahwa dorongan seksual laki-laki amatlah kuat dibandingkan perempuan; kuatnya dorongan seksual laki-laki menjadi wacana yang dominan. Dalam wacana ini, implikasinya adalah laki-laki dengan mudah memperkosa untuk kemudian dibawa ke depan hukum namun mendapatkan sanksi yang tidak terlampau berat.
Resistensi yang berlangsung bisa dalam skema berikut: Di sisi lain, kita juga menemukan bahwa ‘dorongan seksual laki-laki’ tidak melulu dikarenakan dorongan biologis. Wacana dorongan seksual laki-laki ini juga dilengkapi dengan perempuan sebagai ‘pemicu’ munculnya dorongan. Dengan kata lain, perempuan memiliki kuasa untuk menentukan ‘dorongan seksual laki-laki’ dan menempatkan perempuan sebagai sebentuk bahaya bagi para lelaki. Wacana tertentu akan menempatkan laki-laki lebih dominan, namun dapat kita lihat bahwa pada kenyataannya si ‘pemicu’ atau perempuan justru memiliki kuasa yang lebih untuk menghidupkan dorongan tersebut.
Daftar Acuan
Armstrong, A. (t.t.). Michel Foucault: Feminism. Diunduh dari http://www.iep.utm.edu/foucfem/ pada 28 Oktober 2019.
Burr, V. (1995). An introduction to social constructionism. London & New York: Routledge.
Cheek, J. (2008). Foucaldian discourse analysis. Dalam L.M. Given (Ed.), The Sage encyclopedia of qualitative research methods (hal. 355-357). California, London, New Delhi, Singapore: SAGE Publications, Inc.
Hardiyanto, P. S. (1997). Disiplin tubuh: Bengkel individu modern. Yogyakarta: LkiS.
Kelly, M. (t.t.). Michel Foucault. Diunduh dari http://www.iep.utm.edu/foucault/ pada 27 Oktober 2019.
Kendall, G., & Wickham, G. (1999). Using Foucault’s methods. London, California, & New Delhi: SAGE Publications, Inc.
Kushner, R. (2019). Is prison necessary? Ruth Wilson Gilmore might change your mind. Diunduh dari https://www.nytimes.com/2019/04/17/magazine/prison-abolition-ruth-wilson-gilmore.html pada 28 Oktober 2019.
Lynch, R. A. (2011). Foucault’s theory of power. Dalam D. Taylor, Michel Foucault: Key concepts (hal. 13-26). Durham: Acumen.
Parker, I. (1992). Discourse dynamics: Critical analysis for social and individual psychology. London: Routledge.
Willig, C. (2008). Introducing qualitative research in psychology (ed.ke-2). New York: Open University Press.
Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.