Teori

Apa yang Dibicarakan Psikologi Sosial ketika Berbicara tentang Cinta?

Pengantar

Psikologi Sosial senantiasa menganggap penting pembicaraan mengenai daya tarik interpersonal. Daya tarik ini bisa berupa rasa suka atau rasa cinta. Pada awal tulisan ini, kita akan melihat bagaimana daya tarik interpersonal selama ini dibahas melalui pendekatan kognitif. Setelah melihat bagaimana dominasi pendekatan tersebut berlangsung, kita akan memahami asumsi dasar pendekatan kognitif yang membuatnya tidak memadai dalam pembicaraan terkait daya tarik interpersonal. Pada akhirnya, kita akan menilik alternatif penjelasan dari pendekatan mengenai daya tarik interpersonal yang secara khusus berkaitan dengan cinta romantis.

Dalam buku pegangan Psikologi Sosial, kita akan menemukan materi Liking, Love, and Close Relationship yang berbicara mengenai daya tarik interpersonal (Taylor, Peplau & Sears, 2005; Branscombe & Baron, 2017). Ketika membaca buku tersebut, kita diberikan penjelasan mengenai faktor psikologis apa yang menyebabkan kita menyukai orang lain, bagaimana anatomi fisik bisa meningkatkan ketertarikan interpersonal, dan memahami tiga tipe hubungan dekat (close relationships). Apa saja topik spesifik yang dibicarakan di dalamnya?

Dalam pembahasan mengenai faktor psikologi yang menyebabkan kita menyukai orang lain, kita diberitahu bahwa kebutuhan untuk diterima menjadi kebutuhan universal bagi manusia. Manusia ingin menjalin ikatan erat terhadap mereka yang peduli dan mau menerimanya. Maka dari itu, kesepian dan penolakan menjadi sumber penderitaan atau stres personal. Kesepian (loneliness) merupakan kondisi ketidaknyamanan psikologis yang kita rasakan saat kita merasa hubungan sosial kurang memadai. Namun, apakah kesepian berarti sama dengan kesendirian (aloneness)? Dalam pendefinisiannya, kesepian merasuk dalam batin manusia dan sulit terdeteksi secara kasat mata Sementara itu, kesendirian merupakan keadaan obyektif bahwa kita tengah bersama orang lain atau tidak. Weiss (1973) mengatakan bahwa ada dua tipe kesepian; yakni kesepian emosional dan kesepian sosial. Kesepian emosional bersumber dari hilangnya sosok yang intim. Sementara itu, kesepian sosial terjadi ketika keterlibatan seseorang dalam komunitasnya dirasa kurang. Apakah mungkin kita mengalami salah satu tipe kesepian tanpa mengalami tipe lain? Siapa saja yang berpotensi mengalami kesepian? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu kita jawab dengan eksplorasi data atau studi kasus.

Sumber persoalan kedua adalah penolakan sosial (ostracism). Penolakan sosial secara singkat berarti pengalaman diabaikan atau ditolak oleh orang lain. Penolakan sosial berpotensi menyebabkan seseorang merasa diasingkan serta mengalami penurunan mood dan harga diri. Ketika kita merasa ditolak dalam lingkungan tertentu, laiknya orang lapar yang tengah mencari makanan, kita akan cenderung mencari informasi atau berusaha mencari lingkungan lain yang mungkin bisa menerima kita. Di lain sisi, saat kita merasa tertolak dan kontrol internal menjadi tidak memadai,  pengendalian rasa marah dan dorongan agresif bisa bermasalah.

Hubungan dan daya tarik interpersonal dipahami dalam Psikologi Sosial secara khusus lewat teori keterikatan (attachment). Keterikatan merupakan ikatan emosional yang kuat dengan orang lain yang dianggap signifikan (significant others). Pembentukan model keterikatan sendiri dimulai sejak anak-anak. Bagaimana keterikatan terbentuk pada anak? Tahap pertama adalah dengan terus berusaha menjaga kedekatan (proximity maintenance). Tahap kedua adalah kegelisahan terhadap perpisahan (separation distress). Tahap ketiga adalah menjadikan orang yang dianggap dekat sebagai tempat berteduh (safe haven). Tahap keempat adalah menjadikan orang dekat sebagai basis rasa aman (secure base) (Collins & Fenney, 2004).  Ainsworth dkk. (1978) mengidentifikasi tiga gaya keterikatan utama antara orangtua dengan anaknya. Gaya pertama adalah secure attachment; orangtua hadir dan responsif terhadap kebutuhan anak sehingga si anak merasakan aman dan memperoleh dukungan. Gaya kedua adalah avoidant attachment; orangtua bersikap dingin, mengabaikan, tidak responsif, bahkan menolak. Si anak akan menekan rasa butuhnya dan berusaha secara mandiri secara prematur. Gaya ketiga adalah anxious attachment  atau ambivalent attachment; orangtua tidak merespon secara konsisten terhadap kebutuhan si anak. Anak menjadi lebih waspada terhadap respon dan mudah merasa cemas. Lalu, bagaimana dengan orang dewasa?

Hal yang membedakan keterikatan pada orangtua-anak dengan keterikatan antar-orang dewasa adalah ciri resiprokal dan adanya unsur seksual. Pada hubungan orang dewasa, masing-masing menerima, tetapi sekaligus saling memberi perhatian (unsur resiprokal). Selain itu, daya tarik seksual juga menjadi pendorong terbentuknya keterikatan pada orang dewasa. Gaya keterikatan orangtua-anak juga bisa memengaruhi cara orang membangun keterikatan ketika dewasa. Inilah yang kemudian disebut sebagai working model; karena ada contoh sebelumnya, maka seseorang cenderung melakukan idealisasi terhadap contoh tersebut. Breenan dan Shaver (1995) menggambarkan tiga model orang dewasa dalam membangun keterikatan. Model pertama adalah secure adults; mereka merasa nyaman dengan intimasi dan cenderung memandang diri sebagai orang yang pantas menerima perhatian dan kasih sayang orang lain. Mereka memandang orangtua sebagai pengasuh, adil dan penyayang,  serta memiliki pernikahan yang bahagia. Model kedua adalah avoidant adults; mereka merasa kurang nyaman atau kurang mempercayai pasangannya. Mereka cenderung memandang orangtuanya sebagai pemaksa, pengkritik, dan kurang perhatian. Kemudian, model ketiga adalah anxious atau ambivalent adults; mereka mencari intimasi, tetapi mencemaskan cintanya yang tak terbalas. Mereka mendeskripsikan orangtuanya sebagai intrusif dan pemaksa, serta menganggap perkawinan mereka kurang bahagia.

Lalu, apa saja yang memengaruhi daya tarik interpersonal? Faktor pertama adalah kedekatan. Dua orang yang secara fisik berdekatan, akan memungkinkannya lebih intens bertemu. Dengan demikian, terbuka peluang lebar untuk saling tertarik. Terkaitdengan teori disonansi kognitif (cognitive dissonance theory), maka kita akan cenderung bertindak konsisten untuk mendekati orang yang kita sukai dibanding mereka yang tidak terlalu kita sukai. Oleh karena itu, bukan melulu persoalan kedekatan fisik,  tetapi juga evaluasi kita terhadap orang tersebut. Faktor kedua adalah keakraban. Zajonc (1968, 2001) mengatakan bahwa apabila kita sering bertemu dengan seseorang, maka kemungkinan besar akan memperkuat daya tarik interpersonal (mere exposure effect). Namun, mengapa keakraban menambah rasa suka? Karena kita cenderung merasa tidak aman dengan orang asing, kita semakin tahu tentang seseorang. Selain itu, kita juga berpeluang untuk melihat persamaan orang tersebut dengan diri kita. Meskipun demikian, perjumpaan tidak melulu mendatangkan rasa suka.

Faktor ketiga adalah kemiripan, yang mana kita cenderung menyukai orang yang mirip dengan kita dalam hal sikap, kepentingan, nilai, latar belakang, dan personalitas. Hal ini tampak misalnya dalam hubungan berpacaran atau pernikahan di mana seringkali kita memilih pasangan yang sama dengan kita dalam hal sikap, nilai, dan latar belakang (matching principle). Bagaimana dengan pernikahan beda agama? Atau beda etnis di Indonesia? Atau hubungan sesama jenis? Penjelasan selanjutnya adalah adanya faktor atribut personal yang diinginkan, yakni kehangatan dan kompetensi. Wujud dari kehangatan ini misalnya sikap positif atau perilaku non-verbal berupa tersenyum, menatap penuh perhatian, dan ekspresi perasaan. Selain itu, kompetensi dapat kita pahami lewat teori pertukaran sosial; di mana semakin kompeten seseorang, maka kita akan semakin menganggap bahwa mereka bisa memberi manfaat untuk kita. Atribut personal lain juga dapat kita temukan dalam tampilam fisik serta pandangan terkait menarik atau tidak menariknya seseorang.

Faktor-faktor yang sebelumnya disebut memiliki pengaruh terhadap bagaimana seseorang memilih pasangan atau menjalin cinta romantis. Dalam cinta romantis, kebanyakan teoretisi membedakan antara passionate love (pengalaman cinta awal yang penuh emosi dan menyenangkan) dengan companionate love (kasih sayang mendalam, rasa percaya, dan perhatian jangka panjang ke pasangan). Namun, companionate love ini bukanlah cinta yang dianggap ideal sebab hanya mengandung dua komponen cinta, yakni intimasi dan komitmen. Sternberg (1986) mengatakan bahwa ada tiga komponen utama cinta; intimasi, hasrat, dan komitmen (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Segitiga Cinta Sternberg

 

Kritik terhadap Pendekatan Kognitif

Penjelasan dalam buku pegangan di atas amatlah memukau untuk sekadar dibaca. Persoalan akan muncul, misalnya ketika dalam pemilihan pasangan muncul klaim bahwa laki-laki lebih memilih pasangan yang muda dan cantik sementara perempuanlebih mengutamakan aspek ekonomi dan sosial pasangannya. Bukankah klaim tersebut sangat tidak relevan? Logika yang terkandung dalam klaim tersebut adalah pasangan senantiasa heteroseksual dan adanya anggapan bahwa psikologi manusia bersifat seragam. Persoalan generalisasi tersebut menempatkan manusia sebagai makhluk terisolir yang seakan-akan hidup di dalam diri dan kepalanya sendiri (atomistic view). Tidak ada saat dan tempat di mana dia hidup. Bukankah hal tersebut kontradiktif dengan dalil bahwa individu ini makhluk yang unik? Artinya setiap dari kita memiliki latar sendiri-sendiri yang menentukan bagaimana psikologi kita.

Dua kritik utama yang ditujukan untuk penjelasan model Psikologi Sosial di atas adalah individualisme dan saintisme (Watts, 2017). Individualisme mengasumsikan bahwa orang sudah komplit dari sono-nya atau di dalam dirinya sudah memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan. Implikasinya, individu dianggap memiliki kualitas esensial yang hanya bisa dinyatakan dan dipahami ketika mereka diisolasi dari pengaruh orang dan kelompok sosial. Lebih lanjut, Psikologi Sosial memprioritaskan pendekatan dan metode yang mempelajari manusia dalam isolasi, secara khusus desain eksperimental dan dalam ruang laboratorium. Meskipun demikian, mengapa cara melihat atomistik dengan mengisolasi manusia terus berkembang? Dengan kata lain, apakah artinya hal tersebut merupakan sebuah kebenaran?

Pertanyaan di atas dapat kita jawab dengan bagaimana sebuah ilmu pengetahuan mampu mengkonstruksi kebenaran atau saintisme. Kita bisa menoleh ke konstruksionisme sosial terkait hal tersebut. Namun, secara singkat perlu dimafhumi bahwa saintisme mengasumsikan metode ilmiah yang bisa digunakan secara universal  serta keyakinan bahwa sains dan temuannya dapat dibagikan secara otoritatif, reliabel, dan menyediakan pandangan yang tepat mengenai dunia. Penggunaan metode yang dianggap universal merupakan cara Psikologi untuk menggabungkan diri dalam “ilmu alam untuk mental”. Dengan mengasosiasikan diri pada ilmu alam, maka Psikologi bisa dipercaya sebagai sebuah kebenaran ilmiah.

Dengan cara pandang atomistik, maka pendekatan psychological-centred menjadi yang dominan dalam Psikologi. Dengan demikian, pentingnya konteks sosio-kultural, adat-kebiasaan manusia, dan praktik diabaikan dalam menjelaskan perilaku manusia. Semua analisis dalam Psikologi Sosial senantiasa diarahkan pada diri sebagai penjelasan dari perilaku seseorang. Meskipun perilaku sosial tetap berlangsung di antara individu, tetapi minat pada dinamika antar-individu  tidak memperoleh tempat yang memadai, justru dalam kecenderungan dominan Psikologi hal yang dianggap penting adalah apa yang terjadi dalam diri individu belaka. Kemudian, hal lain yang terjadi dalam individu ini, dijelaskan dengan sistem kognisi yang mana menciptakan anggapan keliru bahwa Psikologi Sosial selalu diasosiasikan dengan kognitivisme.

Ketika pendekatan kognitif tersebut digunakan untuk membahas daya tarik interpersonal, maka ada beberapa catatan penting yang perlu kita cermati. Sebelum menuju ke catatan tersebut, saya akan menjabarkan beberapa teori yang digunakan dalam membahas hubungan. DeVito (2017) mengatakan bahwa ada 7 teori dalam memahami perkembangan hubungan. Pertama adalah teori daya tarik (attraction) yang menyatakan bahwa Anda mengembangkan hubungan dengan mereka yang mirip dengan Anda, secara fisik dekat dengan Anda, menawarkan penguatan kepada Anda, Anda anggap menarik secara fisik dan kepribadian, serta memiliki tingkat sosial ekonomi dan pendidikan yang diinginkan. Kedua adalah teori aturan hubungan (relationship rules) yang menyatakan bahwa orang memelihara hubungan dengan mengikuti aturan atau komitmen tertentu  yang ketika dilanggar, maka akan mengalami persoalan. Ketiga adalah teori dialektika hubungan (relationship dialectics) yang menyatakan bahwa hubungan melibatkan ketegangan antara kebutuhan dan keinginan yang saling berlawanan, misalnya Anda memiliki kebutuhan untuk terhubung dengan kebutuhan akan otonomi dan kemandirian. Keempat adalah teori penetrasi sosial (social penetration) yang berfokus bukan pada mengapa hubungan dibangun, tetapi apa yang terjadi setelah hubungan terbangun. Semakin intens suatu hubungan, maka kedalaman keterlibatan akan meningkat. Kelima, teori pertukaran sosial (social exchange) yang mengklaim bahwa kita memasuki dan memelihara hubungan di mana manfaatnya lebih besar dari mudaratnya. Ketika mudarat menjadi lebih besar dari manfaat, hubungan memburuk. Keenam adalah teori ekuitas (equity) menyatakan bahwa Anda mengembangkan dan memelihara hubungan di mana Anda dan pasangan sama-sama memperoleh manfaat yang adil satu sama lain. Terakhir atau ketujuh adalah teori kesopanan (politeness) yang menyatakan bahwa Anda mengembangkan dan memelihara hubungan dengan sikap sopan satu sama lain atau saling menghargai.

Sebagai contoh, kita akan melihat lebih jauh mengenai teori pertukaran sosial. Teori pertukaran sosial mengatakan bahwa sebuah hubungan bisa bertahan hanya ketika satu sama lain memperoleh manfaat, artinya penguatan diberikan satu sama lain. Teori mengharuskan seseorang untuk menerapkan perhitungan untung-rugi dalam sebuah hubungan. Anda mesti membandingkan hubungan Anda dengan pasangan yang sekarang dengan orang lain yang pernah menjalin hubungan dengan Anda., Anda juga dituntut untuk membandingkan hubungan antara Anda dan pasangan dengan hubungan yang dimiliki sepasang orang lainnya. Ketika keuntungan masing-masing pasangan yang menjadi perhatian, maka teori ini mengasumsikan individualisme. Namun, pada kenyataannya hubungan tidak se-kaku sebagaimana dikatakan teori pertukaran sosial. Apabila teori tersebut diterapkan, setiap orang akan dengan mudah memutuskan hubungan dan menemukan orang lain yang membawa keuntungan, lalu memutuskan hubungan lagi, dan bertemu orang lainnya lagi. Pengalaman pasangan menjadi aspek yang dinafikan ketika generalisasi dibangun.

Kita butuh sebuah teori psikologi hubungan yang mengakui bahwa manusia berada dalam dunia yang memiliki ruang sosial dan psikologis. Pandangan atomistik mesti digantikan dengan pandangan holistik, dualistik diganti dengan monistik, dan mengakui bahwa manusia memiliki aspek fisik maupun mental. Semua kriteria tersebut menunjukkan bahwa untuk meneliti hubungan, keterhubungan (relatedness) dengan dunia sekitar menjadi penting, bukan malah memisahkan manusia dengan dunia. Logika keterhubungan inilah yang mengantarkan kita pada segala macam pendekatan yang lebih  konkret dan membumi serta memanusiakan manusia.

Cinta Romantis dan Materialisme Historis

Untuk melihat bagaimana cinta dilihat dengan perspektif materialisme historis, kita akan melihat gagasan Ratner (2006). Ratner menyatakan bahwa cinta romantis modern merupakan emosi yang memiliki kualitas konkret dan khas terkait kesejarahan dan kebudayaan tertentu. Cinta romantis modern adalah gambaran khas dari gairah sensual, ketertarikan pribadi dan kecocokan, keintiman, privasi, gairah spontan, transenden (“cinta mengatasi semua masalah dan perbedaan”), euforia, kurangnya realisme,dan rasionalitas (“cinta itu buta,” “love is chemistry”). Konsep cinta jenis termaksud baru muncul pada abad ke-17 dan secara khusus muncul ketika lahirnya struktur baru masyarakat akibat Revolusi Industri (1750-1850).

Sebelum Revolusi Industri, struktur masyarakat didominasi oleh feodalisme. Masyarakat yang feodal mengakui kekuasaan bangsawan  (aristokrasi) yang sekaligus adalah pemilik tanah. Setelah terjadi Revolusi Industri, struktur masyarakat ini goyang dan muncul kelas baru: yakni pemilik modal. Dalam sistem kerja industri, pemilik modal menyediakan segala bahan baku dan alat produksi dan muncullah kelas baru yang menjadi pekerja, yakni buruh. Kaum pemilik modal yang terkadang adalah pula bangsawan disebut sebagai borjuis, sementara kaum buruh dikenal dengan nama proletar. Tugas proletar adalah mencari laba sebanyak-banyaknya untuk si pemilik modal. Inilah yang kemudian kita kenal sebagai sistem kapitalis.

Munculnya kelas baru, yakni borjuis yang memunculkan kultur baru dalam cinta romantis. Pada masa sebelum Revolusi Industri, ada satu jenis cinta yang banyak tertulis dalam kisah-kisah, yakni courtly love (cinta yang santun). Cinta ini biasanya terjadi antara seorang ksatria yang tak memiliki apapun kecuali tekad dan keberanian untuk mendekati seorang putri bangsawan (Kesel, 2009). Cinta yang terjadi di dalamnya adalah cinta yang tidak mungkin akan terwujud karena adanya perbedaan kelas sosial. Barangkali, kisah yang mendekati courtly love adalah dalam film Titanic. Dalam film tersebut dikisahkan Jack dengan latar kelas sosial bawah menjalin cinta dengan Rose, seorang perempuan aristokrat. Pada bagian akhir cerita, kapal Titanic tenggelam dan Jack meninggal untuk menyelamatkan Rose, setelah sebelumnya cinta mereka dilarang oleh keluarga Rose.

Selain kisah courtly love sebagaimana dalam Titanic, cinta romantis Abad Pertengahan (abad ke-12) tersebut biasanya merupakan perselingkuhan antara seorang wanita aristokrat yang sudah menikah dan seorang ksatria rendahan. Di antara cinta tersebut, jarang sekali yang bersifat seksual atau bersifat pribadi/intim. Cinta, dengan demikian, merupakan kerinduan yang menjelma frustrasi – alih-alih pemenuhan diri yang sempurna. Courtly love didasarkan pada gambaran tentang kedudukan sosial kekasih, prestasi publik, dan mungkin penampilan fisik. Pada masa itu, cinta menekankan pelayanan dan kesopanan, yang menampilkan hubungan feodal. Cinta adalah perasaan spiritual yang mengangkat jiwa para kekasih. Cinta di Yunani kuno adalah jenis cinta yang sama sekali berbeda dari cinta romantis santun atau modern, sedangkan cinta di Amerika kolonial memiliki ciri khasnya sendiri – cinta adalah semacam kekaguman spiritual terhadap pekerjaan dan jiwa orang lain. Cinta bersifat rasional dan terlindungi.

Cinta romantis modern memiliki sistem yang berbeda dengan courtly love atau Yunani Kuno. Cinta romantis diciptakan oleh kaum borjuis di abad ke-17 dan hanya ditemukan di mana terdapat hubungan sosial-ekonomi antara para borjuis. Hubungan dalam cinta romantis modern tidak perlu pengakuan dari pihak lain. Hal yang diperlukan dalam cinta romantis modern adalah otonomi diri seseorang sebagai pribadi yang unik. Singkat kata, cinta memiliki kualitas, ekspresi, organisasi, dan kondisi yang sangat berbeda tergantung pada kondisi budaya dan sejarah yang tertentu.

Ratner (2006) menuliskan bahwa cinta romantis menunjukkan individualisme dan pemisahan kehidupan pribadi dari kehidupan publik yang mencirikan hubungan sosial-ekonomi kapitalis. Orang, yang menganggap diri mereka sebagai individu yang unik, mencari kekasih yang menghargai keunikan dan cocok dengan mereka. Namun, di dunia ini individu unik sulit untuk menemukan seorang lain yang sungguh-sungguh cocok. Kesulitan ini diperparah oleh kondisi material, persaingan, dan keterasingan. Dengan sukarnya kondisi untuk mencintai, maka cinta sendiri menjadi hal yang membuatnya sangat diinginkan. Seseorang membutuhkan cinta untuk memberikan keintiman dan dukungan dalam dunia yang tidak memberikan kedua kondisi tersebut. Ketika orang yang cocok dan peduli ditemukan, maka hal tersebut akan menjadi semacam keberuntungan ajaib yang tak terduga. Itulah yang membuat cinta menggembirakan: Cinta mengatasi pelbagai masalah kehidupan yang tak dapat diperbaiki.

Cinta romantis merupakan bagian dari wilayah personal yang dipisahkan dari arena yang kompetitif, meterialistik, dan penuh kepastian; sebagaimana dalam dunia kerja dan publik masyarakat. Keberhargaan cinta terletak pada sifatnya yang amat personal, intim, spontan, dan emosional. Cinta romantis hanya sedikit terkait dengan rasionalitas, keseriusan, dan perilaku sosial. Cinta dirangsang oleh ciri personal dan kegembiraan. Kualitas cinta romantis dengan demikian berasal dari bagaimana kehidupan terstruktur dalam institusi sosial dan konsep budaya. Faktor-faktor budaya makro ini menumbuhkan kualitas cinta dan emosi yang menyertainya, situasi yang memunculkannya, cara pengungkapannya, dan organisasinya (misalnya emosi yang dialami sama atau tidak sama). Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor makro berpengaruh kuat dalam cara orang mencintai.

Cinta berbeda-beda dengan kelompok orang tertentu yang terlibat dalam jenis hubungan sosial tertentu di era historis tertentu. Cinta bukanlah konsep yang universal. Sebaliknya, cinta justru mengatur kembali semua fenomena seperti kepedulian, ketertarikan, dan seks ke dalam sistem psikologis-budaya dan menanamkannya dengan kualitas-kualitas  konkret.

Cinta Romantis dan Konstruksionisme Sosial

Dari sudut pandang konstruksionisme sosial, tampaknya kita perlu menengok dalam Kajian Sosiologi atau Antropologi, atau lebih khusus lagi Kajian Gender (gender studies). Para pemikir konstruksionis menolak pandangan Psikologi tradisional dan Biologi yang menyatakan bahwa emosi bersifat pra-kultural, individual, dan tidak ditentukan oleh historisitas. Para pemikir konstruksionis ini, misalnya Eva Illouz menekankan bahwa pengalaman emosi dibentuk oleh bahasa dan bahwa aturan-aturan sosial menentukan ekspresi serta pertukaran yang terjadi dalam praktik hidup sehari-hari.

Bagaimana praktik pemikiran konstruksionis ini? Misalnya, dalam banyak budaya, tatapan (sight) memainkan peran penting dalam aktivasi emosi. Dalam kosakata bahasa Indonesia, kita mengenal istilah “cinta pada pandangan pertama” yang merujuk pada perasaan jatuh cinta terjadi secara tiba-tiba dan dialami sebagai disrupsi dari rutinitas harian. Cinta jenis tersebut seringkali bersifat obsesif dan tidak terkendalikan oleh kehendak seseorang. Ketika kita melihat dari sudut pandang Niologi atau Neurosains, mekanisme yang terjadi adalah ada perangsangan (excitation) terhadap kelenjar otak (pituitary gland). Kelenjar pituitari kemudian memproduksi feniletilamin, dopamine, dan norepinefrin yang memunculkan emosi senang. Sementara itu, dari pandangan Psikologi kita menemukan gagasan dari Sternberg mengenai segitiga cinta. Sternberg mengatakan bahwa ketika kita menyebut cinta, maka ada tiga aspek di dalamnya: hasrat, intimitas, dan komitmen. Aspek-aspek tersebut kemudian akan mengkategorikan tipe cinta apa yang sedang kita alami. “Cinta pada pandangan pertama” akan dikategorikan sebagai minim komitmen. Namun, saat kita memafhumi “cinta pada pandangan pertama” dari pandangan Biologi atau Psikologi tradisional, dapatkah kita menjelaskan mengapa kita bisa mengalaminya pada orang tertentu dan tidak pada orang lainnya?

Ketika pemikiran Biologi atau Psikologi tradisional terkait cinta dihadap-hadapkan dengan cara pandang konstruksionisme sosial, maka perdebatan tidak akan memperoleh titik terang baru. Masing-masing pandangan memiliki cara membangun kebenarannya masing-masing. Melihat kondisi tersebut, Illouz (2006) berpendapat bahwa sebagai seorang konstruksionis hendaknya bertanya demikian: Apa yang bisa dilakukan konstruksionis terkait bahasan cinta, tetapi tidak bisa dijawab oleh pandangan Biologi atau Psikologi tradisional? Jawabannya adalah pendekatan Biologi atau Psikologi tradisional terhadap emosi tidak bisa menunjukkan soal aturan sosial apapun yang melakukan aktivasi pengalaman emosional dan makna yang terkandung dalam pengalaman tersebut.

Sebagai contoh, pemaknaan jatuh cinta akan sangat berbeda tergantung apakah virginitas perempuan didefiniskan sebagai prasyarat pernikahan atau justru prasyarat pernikahan adalah eksperimentasi seksual. Apabila virginitas perempuan menjadi perkara penting dalam aturan dan konteks masyarakat di mana seseorang hidup, maka cinta romantis akan diatur dan dibatasi oleh pernikahan. Artinya, mesti ada totalitas emosi dan komitmen untuk mengalami cinta romantis. Dalam gagasan ini, obyek cinta seksual hanya diarahkan pada satu orang yang unik dan tidak tergantikan (Fromm, 1956). Namun, ketika seksualitas menjadi perkara hasrat dan pilihan individual, narasi cinta romantis akan menjadi eksplorasi diri dan kaitan antara seks, cinta, dan pernikahan akan melemah. Mungkinkah pendekatan Biologi bisa menjelaskan perubahan makna cinta dalam kasus tersebut?

Illouz (2006) membahas lebih jauh terkait cinta romantis. Ia berpendapat bahwa kultur cinta romantis hanya terjadi dalam masyarakat modern yang kapitalistik. Sekalipun masyarakat modern dianggap kering (heartless) dan segala sesuatunya tertata, tetapi justru cinta romantis lahir dalam kondisi yang demikian. Cinta romantis bukan sekadar sebuah cinta, tetapi cinta yang memiliki sifat heteroseksual; tidak selalu terarah pada memiliki dan membesarkan anak; terkait dengan pernikahan tetapi bisa juga tanpa pernikahan; butuh intensitas dan perangsangan yang dianggap bersifat lama; serta bersifat individual karena terkait dengan kepenuhan diri dan pengakuan akan keunikan.

Gagasan cinta romantis lahir dalam kultur individualistik yang ditandai dengan konsumsi pada abad ke-20. Kultur konsumer justru tidak hanya bicara soal materi dan kepemilikan, tetapi soal bagaimana Anda merasa aman,yang artinya emosionalitas menjadi hal penting – misalnya lewat gambaran hidup bahagia bersama keluarga menunjukkan kehidupan yang baik. Dalam relasi romantis, kita seringkali menemukan iklan bertebaran dengan model perempuan dan laki-laki yang sedang kencan. Hari ini, kita dapat mengatakan bahwa sesuatu yang romantis dibayangkan dengan mengisi waktu luang berdua entah dengan makan malam bersama, nonton di bioskop, nongkrong di cafe, atau sekadar jalan-jalan sore naik motor.

Lebih lucu lagi, kita dapat menyaksikan sebuah film dan menemukan bahwa kulkas menjadi penentu apakah hubungan romantis atau tidak. Anda bisa melihat dalam kebanyakan film Hollywood akan hadir pasangan heteroseksual yang tengah memasak bersama, lalu membuka kulkkas dan mengambil minuman. Bukankah kesan romantis menjadi lebih kuat dengan properti tersebut? Budaya populer juga mengeksploitasi kaitan antara cinta dengan seks, misalnya di dalam film, sesuatu yang romantis digambarkan dengan ciuman, pelukan, petting atau interaksi seksual lain (Illouz, 2006; Baydala, 2014). Pada akhirnya imajinasi kultural antara cinta romantis, pernikahan, dan kebahagiaan memiliki asosiasi kuat satu sama lain.

Illouz (2006) menunjukkan bahwa model cinta romantis yang lahir dalam modernitas itu dimungkinkan dengan masifnya psikologisme dan feminisme. Psikologisme dalam konteks ini dipahami sebagai cara berpikir dan cara memandang dunia yang lahir dari Psikologi, secara khusus Psikologi Klinis dengan aliran psikologi dinamis. American Psychological Association (APA) menuliskan bahwa psikologi dinamis merupakan sistem berpikir dalam Psikologi yang menekankan motivasi atau dorongan – yang tampil dalam psikoanalisis Amerika Utara, behaviorisme, maupun psikologi humanistik. Dalam psikologi jenis termaksud, yang ditekankan adalah sebab-akibat dan motivasi dalam kaitannya dengan perilaku, khususnya rantai Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R) di mana hubungan stimulus-respon dianggap sebagai mekanisme perilaku dan dorongan dari organisme adalah variabel penengah.

Sementara itu, apa yang dimaksud sebagai feminisme merupakan pandangan yang muncul dari liberalisme politik, yang memandang laki-laki dan perempuan memiliki hak dan status yang sama, baik dalam ruang publik maupun privat. Dalam sejarah pembahasan gender, selama ini dikenal tiga gelombang utama terkait feminisme, yakni feminisme gelombang pertama (first wave feminism), feminisme gelombang kedua (second wave feminism), dan feminisme gelombang ketiga (third wave feminism).

Feminisme gelombang pertama menandai gerakan perempuan pada 1880an hingga 1920an, secara khusus di Inggris dan Amerika Serikat. Gelombang pertama ini diwarnai dengan gerakan feminis yang memperjuangkan perempuan bisa mengikuti pemilihan umum (voting), akses terhadap pendidikan dan profesi, memiliki hak kepemilikan yang sah secara hukum,  serta memiliki hak untuk menikah maupun bercerai. Di Indonesia, kita merasakan efeknya dengan munculnya tokoh Kartini yang berkorespondensi dengan Nyonya Abendanon dan kesadaran hak perempuan yang terus menguat pada 1920an.

Feminisme gelombang kedua digunakan untuk menggambarkan periode gerakan feminis pada 1960an. Dalam gelombang kedua ini, gagasan mengenai “liberation” atau pembebasan dari masyarakat opresif yang didominasi patriarki menjadi isu utama. Setelah ruang publik diperjuangkan pada feminisme gelombang pertama, gelombang kedua ini lebih memfokuskan gerakan pada tubuh perempuan, representasi, dan makna yang melekat pada tubuh dan perbedaan biologis. Pernyataan Simone de Beauvoir sangat populer pada jaman itu: “One is not born, but rather becomes, a woman” (Seseorang tidak terlahir sebagai perempuan, tetapi [hidup] menjadi perempuan). Implikasi dari gagasan Simone de Beauvoir adalah bahwa perbedaan antar-gender merupakan sesuatu yang dikonstruksi dan dipengaruhi oleh ideologi tertentu yang dalam konteks ini adalah patriarki. Feminisme gelombang kedua menyumbang banyak dalam produksi pengetahuan yang kira-kira dalam historisitasnya menyingkirkan perempuan secara sosial dan kultural.

Sementara itu, feminisme gelombang ketiga lebih tidak pasti kurun waktunya. Ada yang menyebut tahun 1990an, tetapi tidak semua pemikir bersepakat akan hal tersebut. Kita bisa menyebutnya sebagai periode post-feminist. Era post-feminist ini ditandai dengan sekelompok orang muda yang melawan dan mengkritik feminisme gelombang kedua. Isu seperti kekerasan seksual dan perkosaan diangkat oleh feminisme gelombang ketiga. Orang-orang dalam feminisme gelombang ketiga ini berisi  olehakademisi yang lahir dari pendidikan dan budaya populer seperti musik, televisi, film, dan sastra.

Mengapa psikologisme dan feminisme menjadi dua gagasan besar yang penting dalam membentuk konsep cinta romantis? Rose (2008) menyebutkan bahwa abad ke-20 merupakan abad psikologi. Dikatakan sebagai abad psikologi sebab segala gagasan terkait diri, identitas, otonomi, kebebasan, dan pemenuhan-diri dikonseptualisasi ulang dengan istilah psikologi atau dalam kasus ini, terjadi psikologisasi kehidupan kolektif. Dalam era demikian, cinta dijelaskan sebagai kebutuhan untuk mendapatkan apa yang hilang dan menyakitkan terkait hubungan masa lalu kita dengan karakter yang peduli (caring). Sementara itu, dalam feminisme dikatakan bahwa cinta bukanlah sumber transendensi, kebahagiaan, dan realisasi-diri, melainkan penyebab utama pembagian antara laki-laki dengan perempuan yang membuat perempuan menerima dan submisif terhadap laki-laki. Shulamit Firestone, penulis The Dialectic of Sex: The Case for Feminist Revolution (1970), berargumen dengan jelas bahwa tenaga dan kekuasan sosial laki-laki bersumber dari perempuan tercintanya yang telah menyediakan diri untuk si laki-laki, sehingga cinta menjadi dasar bangunan dominasi laki-laki. Tidak hanya membuat segregasi seksualitas, tetapi cinta romantis malahan menfasilitasinya.

Cinta Romantis dan Psikoanalisis

Freud mengatakan bahwa semua hubungan emosional dalam pertemanan, kepercayaan (trust), simpati, dan afeksi diturunkan dari hasrat seksual yang murni dengan memperlembut tujuan seksualnya. Tujuan seksual yang dimaksud adalah kenikmatan (beyond the pleasure principle atau jouissance). Aturan sosial memungkinkan dorongan libidinal tampil dalam bentuk yang bisa diterima oleh masyarakat di sekitarnya.

Untuk mempelajari cinta dalam psikoanalisis, kita bisa banyak belajar dari Erich Fromm. Pada 1956, bukunya yang kemudian terdaftar sebagai World Perspectives Series, terbit dengan judul The Art of Loving. Dalam buku tersebut disampaikan bahwa cinta bukanlah sesuatu yang magis atau misterius belaka. Mencintai merupakan sebuah keahlian yang bisa dipelajari. Artinya, laiknya sebuah seni, kita butuh pengetahuan dan usaha untuk mencintai. Lalu, bagaimana cinta dipelajari?

Dengan mengawinkan gagasan Freud dengan Marx, Fromm mengatakan bahwa pada masa 1950an “dicintai” lebih penting daripada “mencintai”. Menurut Fromm, pengalaman keterpisahan menimbulkan kecemasan, pengalaman keterpisahan inilah yang menjadi sumber segala macam kecemasan. Pengalaman keterpisahan juga ditambah dengan pengalaman teralienasi terhadap produk maupun praktik hidup sehari-hari membuat kombinasi keduanya menjadi penjara kesendirian bagi manusia. Dengan perjumpaan dengan manusia lain yang secara khusus merujuk pada cinta romantis dan pernikahan, keterpisahan dan alienasi bisa diatasi.

Fromm (1956) menekankan bahwa dalam cinta terkandung 4 aspek, yakni tanggung-jawab, kepedulian, penghargaan, dan pengetahuan. Berpijak pada empat aspek tersebut, Fromm menggambarkan bahwa kala itu terdapat lima jenis cinta dalam tradisi barat. Pertama adalah brotherly love yang menunjukkan adanya rasa tanggung-jawab, kepedulian, penghargaan, dan pengetahuan terhadap manusia lain. Brotherly love berarti mencintai semua manusia dan tidak bersifat eksklusif. Jenis kedua adalah motherly love yang berupa afirmasi tidak terkondisi terhadap kehidupan dan kebutuhan anak. Cinta keibuan ini mengajarkan anak untuk mencintai kehidupan. Ketiga adalah erotic love yang merupakan penyatuan dengan seorang lainnya, bersifat ekslusif, dan tidak universal. Menurut Fromm, erotic love adalah cinta paling menipu sebab dipenuhi ilusi bahwa seseorang yang bisa bersatu dengan mereka yang dicintai akan mengatasi keterpisahan. Namun, pada praktiknya orang yang dicintai ini bisa berubah-ubah. Keempat adalah self-love yang berbeda dengan egoisme. Dalam self-love, seseorang berarti mempedulikan dirinya, bertanggung-jawab dengan dirinya, menghargai dirinya, dan memahami dirinya – dalam arti mengetahui kelebihan atau kelemahan diri. Terakhir atau kelima adalah love of god merupakan cinta yang sifatnya religius serta terbentuk karena kebutuhan untuk mengatasi keterpisahan dan mengatasi kesatuan dengan figur Tuhan.

Gagasan cinta menurut Fromm mendapatkan kritik dari sesama pemikir psikoanalisis, misalnya Herbert Marcuse. Marcuse mengatakan bahwa apa yang dikerjakan Fromm pada mulanya bisa dikategorikan radikal, tetapi lama kelamaan apa yang digagas Fromm isinya menjadi idealis dan normatif belaka. Sebagai imbasnya, karya Fromm menjadi superfisial. Misalnya ketika dia menuliskan teori cinta di atas, kita akan menemukan gagasan decentrering manusia sebagai dasarnya, tetapi lama-kelamaaan, kita akan menemukan bahwa ego manusia menjadi hal yang jauh lebih penting dalam memahami cinta. Dengan demikian, analisis ketidaksadaran disingkirkan. Penyingkiran ketidaksadaran ini berdampak besar dalam jalannya ilmu pengetahuan, gagasan positivity dengan pandangan etis (ethical stance) mengenai sesuatu yang ideal menjadi lebih diterima, sementara itu gagasan dialektik dan melihat celah atau kekurangan untuk menemukan kebenaran (negativity) justru ditiadakan (García-Quesada, 2014). Dengan begitu, absennya negativity membuat sebuah ilmu tidak berkembang maju sebab tidak ada dialektika yang berlangsung.

Gagasan psikoanalisis yang berpikir dengan logika negativity juga terus berkembang melawan dominasi dari tradisi positivity. Kesan dari tradisi negativity amatlah suram, pesimis, dan tidak memanusiakan manusia. Namun, justru tradisi negativity berhasil membuat manusia merasa tidak nyaman dan dengan demikian mengembangkan refleksivitasnya. Coba Anda bayangkan, ada seseorang mengatakan demikian: “Love  is  giving  something  one  doesn’t  have….  to  someone  who  doesn’t want  it” (Žižek, 2008). Bukankah pendefinisian tersebut membalik apa yang selama ini kita yakini sebagai sebuah cinta yang dalam imajinasi kita begitu indah?

Kita mulai dengan Sherry Turkle, seorang psikoanalis asal Amerika. Turkle (2011) mengatakan bahwa kemajuan teknologi, khususnya kehadiran internet merubah cara orang berhubungan. Cara kerja cinta, kepedulian, dan komitmen tidak mendapatkan tempat yang layak dalam teknologi. Turkle mengatakan bahwa hari ini bisa jadi mesin (robot) yang menggantikan kepedulian kita. Sekalipun media sosial meningkatkan jumlah teman, mempertemukan keluarga, menjadi sumber pengetahuan atau hiburan; pada akhirnya semua demi kepentingan komersial dan praktik pengawasan lewat Big Data. Hal yang mengerikan dari kondisi ini adalah apabila kita menyandarkan segala sesuatunya pada teknologi untuk mewakili hubungan antar-manusia, ada kemungkinan bahwa kita bisa lebih terhubung satu sama lain tetapi justru makin sendirian (alone together) atau; dalam intimasi, lahir kesunyian.

Turkle (2011) menuliskan bahwa hubungan cinta melibatkan keterbukaan terhadap kedatangan diri lain yang menciptakan keterkejutan, menyediakan ruang untuk melihat dengan perspektif orang lain yang dibentuk secara historis, biologis, serta mengandung trauma maupun kegembiraan. Sebuah hubungan yang dimediasi dengan teknologi atau ruang siber tidak mungkin menghadirkan pengalaman yang bisa dibagikan satu sama lain. Tentu saja pengalaman dalam konteks ini bukan berarti cerita hidup belaka, melainkan juga sensasi inderawi dan afek yang tak mungkin secara penuh terwakili oleh teknologi. Mungkinkah sebuah robot atau komputer bisa memahami dan mengisi afek kita, yang misalnya, iri dengan kakak atau adik kita?

Apa yang disampaikan Turkle, senada dengan apa yang dituliskan oleh Alain Badiou (2012). Badiou (2012) mengatakan bahwa pada hari ini kita dihadapkan dengan cinta tanpa risiko (love without risks). Apa yang hilang dari model cinta ideal sebagaimana ia bayangkan adalah keberanian untuk ambil risiko dan berpetualang. Apabila kita amati, hari ini dengan mudah kita bisa menggunakan aplikasi online dating atau ruang siber lain untuk menemukan orang yang kita cintai. Lebih jauh lagi, hubungan tidak perlu terjadi dalam dunia nyata. Kondisi ini menurut Badiou menampilkan cinta yang aman dan nyaman. Ia mengusulkan agar konsep cinta yang aman dan nyaman dibedah-ulang dan ditemukan model cinta yang lebih radikal.

Psikoanalis kolega Badiou, Slavoj Žižek memperkuat pendapat Badiou yang berkebalikan dengan Erich Fromm. Fromm (1956) mengatakan bahwa “cinta adalah tindakan, bukan perasaan pasif; cinta itu membuat orang ‘standing in’ dan bukan ‘falling for’”.  Frase “standing in love” tidak tepat apabila dilihat dari kacamata Žižek. Menurut Žižek (2008) cinta justru lebih tepat apabila dikatakan membuat orang “falling for”, kenyataannya orang akan menjadi lebih rentan ketika sedang “jatuh cinta”. Žižek (2008) mengutip novel grafis The Sandman karangan Neil Gaiman:

Pernahkah kamu jatuh cinta? Ngeri, bukan? Cinta membuatmu mudah patah arang. Cinta membuka-lebar dada dan hatimu; yang berarti seseorang bisa masuk dan mengacaukan dirimu. Kamu membangun pertahanan atasnya, [nah, coba bayangkan] kamu memakai baju lapis baja supaya tak satupun hal bisa melukaimu, kemudian datang seorang pandir, berkeliling dalam kehidupan konyolmu… Kamu mengikhlaskan mereka menjadi bagian dirimu. Mereka tidak memintanya. Suatu kali, mereka melakukan hal bodoh, seperti mencium atau tersenyum denganmu, dan hidupmu bukan milikmu lagi. Cinta menggerogoti dan membuatmu tersedu dalam kegelapan, frase sederhana “mungkin kita berteman saja” berubah menjadi pecahan kaca beling yang merangsek ke jantung dan hatimu. Sakit. Tak hanya dalam imajinasi. Tak hanya dalam pikiran. Suatu luka jiwa, perih yang nyata-nyata masuk-ke-dalam-diri-dan-merobek-robek. Aku benci cinta.

Kerentanan yang terjadi ketika kita jatuh cinta ini menunjukkan satu model baru cinta sebagaimana disampaikan oleh Badiou sebagai cinta tanpa risiko. Žižek (2014) menyebutnya love without the fall. Mengapa demikian? Sebagaimana dikatakan Turkle dan Badiou, online dating mewakili dan menjaga kita tetap berjarak dengan liyan (others). Liyan inilah yang berpotensi menciptakan peristiwa traumatik bagi kita. Dengan online dating, kita akan kembali pada cinta masa feodalisme di mana kita tidak perlu susah-susah memilih sebab kita sudah dipilihkan biro jodoh, agen kencan online, atau bahkan dipilihkan oleh standar tertentu yang menentukan orang macam apa yang pantas kita cintai. Sebaliknya, apa yang disebut “true love” tidak memiliki figur ideal atau mutlak. Ketika kita memiliki standar tertentu, maka tidak ada yang bisa disebut “true-love”.

Badiou dan Žižek mendasarkan gagasan mereka pada pemikiran Jacques Lacan, seorang psikoanalis dan psikiatris Perancis yang dikenal sebagai psikoanalis paling kontroversial setelah Freud (the most controversial psychoanalyst after Freud). Lacan (2015) menempatkan cinta sebagai fenomena imajiner murni (purely imaginary phenomenon), meskipun memiliki pengaruh dalam dunia bahasa atau tatanan simbolik (symbolic order). Artinya, tidak mungkin untuk mengatakan segala sesuatu soal cinta. Ketika orang mulai membicarakannya, maka dia akan mereduksinya. Apa maksud Lacan mengatakan tidak mungkin bicara soal cinta? Menurut Lacan, cinta bersifat oto-erotik dan secara mendasar memiliki struktur narsistik, “seseorang mencintai egonya sendiri, ego ini akan terasa nyata ketika berada dalam level imajiner.” Artinya, cinta merupakan ilusi besar yang didasarkan pada fantasi kesatuan dengan yang dicintai. Dengan kesatuan tersebut, hasrat akan musnah. Ketika hasrat tidak ada, maka tidak mungkin terbentuk subyek manusia dan dalam logika hasrat yang digagas Lacan, hal tersebut merupakan sesuatu yang mustahil: sifat dasar hasrat adalah tidak pernah bisa terpuaskan (unsatisfied desire).

Kesimpulan

Apa yang berubah ketika kita beralih dari pendekatan atomistik ala kognitif menuju pendekatan materialisme historis, konstruksionisme sosial, atau psikoanalisis? Dalam tradisi pemikiran, kita mengenal humanisme. Humanisme kurang lebih mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan dan agensi diri. Pandangan humanisme inilah yang selama berabad-abad memengaruhi tradisi pemikiran manusia. Dari humanisme, lahir gagasan yang tidak sekadar memuliakan manusia, tetapi juga mendewakan manusia. Kesadaran manusia menjadi perkara paling penting dalam menentukan fenomena hidup sehari-hari. Namun, ketiga perspektif tersebut mencoba untuk berpikir secara seimbang dan mengambil posisi anti-humanisme. Untuk mengimbangi humanisme, anti-humanisme sangat diperlukan. Pandemi Covid-19 mengingatkan manusia bahwa ada hal-hal yang tidak cukup diatasi oleh kesadaran manusia. Sama dengan perkara hubungan dan cinta romantis, dunia kita hidup juga menjadi ruang penting yang menentukan siapa diri kita. Hanya dengan melakukan analisis keakraban antara manusia dengan dunia materialnya, analisis komprehensif mengenai manusia bisa dilakukan.

 

Daftar Referensi

Badiou, A. & Truong, N. (2012). In praise of love (Penerj. Peter Bush). London: Serpent’s Tail.

Baydala, A. (2014). Love, overview. Dalam T. Teo (ed.), Encyclopedia of critical psychology (hlm. 1091-1093). New York: Springer.

Branscombe, N.R. & Baron, R.A. (2017). Social psychology (14th ed., global ed.). Essex: Pearson.

Brennan, K.A. & Shaver, P.R. (1995). Dimensions of adult attachment, affect regulation, and romantic relationship functioning. Personality and Social Psychology Bulletin, 21, 267-283.

Collins, N.L. & Feeney, B.C. (2004). An attachment teori perspective on closeness and intimacy. Dalam D.J. Mashek & A. Aron (eds.), Handbook of closeness and intimacy (hlm. 163-188). Mahwah: Erlbaum.\ Ainsworth, M.D., Blehar M.C., Waters, E. & Wall, S. (1978). Patterns of attachment. Hillsdale: Erlbaum.

DeVito, J.A. (2016). The interpersonal communication book. London: Pearson.

Firestone, S. (1970). The dialectic of sex: The case for feminist revolution. New York: William Morrow and Company.

Fromm, E. (1956). The art of loving. New York: Harper.

García-Quesada, G. (2014). Negativity. Dalam R. Butler (ed.), The Žižek dictionary. New York: Routledge.

Illouz, E. (2006). Romantic love. Dalam S. Seidman, N. Fisher, C. Meeks, Handbook of the new sexuality studies (hlm. 40-48). London and New York: Routledge.

Kesel, M.D. (2009). Eros and ethics: Reading Jacques Lacan’s seminar vii (Penerj. Sigi Jöttkandt). Albany: State University of New York Press.

Lacan, J. (2015). Transference: The seminar of Jacques Lacan, book viii. Cambridge: Polity.

Ratner, C. (2006). Cultural psychology: A perspective on psychological functioning and social reform. New Jersey & London: Lawrence Erlbaum Associates.

Sternberg, R.J. (1986). A triangular theory of love. Psychological Review, 93, hlm. 149-152.

Taylor, S.E., Peplau, L.A. & Sears, D.O. (2005). Social psychology, 12th edition. New Jersey: Pearson Education.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. New York: Basic Books.

Watts, S. (2017). Relationships: From social cognition to critical social. Dalam B. Gough (ed.), The Palgrave handbook of critical social psychology (hlm. 365-385). London: Palgrave Macmillan.

Weiss, R.S. (1973). Loneliness: The experience of emotional and social isolation. Cambridge: MIT Press.

Zajonc, R.B. (2001). Mere exposure: A gateway to the subliminal. Current Directions in Psychological Science, 10, 224-228.

Žižek, S. (2008). Violence. New York: Picador.

Žižek, S. (2014). Slavoj Žižek: Events and encounters explain our fear of falling in love. Diunduh pada 18 Mei 2021 dari https://bigthink.com/think-tank/slavoj-Žižek-on-on-events-encounters-and-falling-in-love

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *