Teori

Problem dalam Masyarakat Kapitalis (Bagian 2)

Komlosy (2018) menuliskan bahwa di bawah Kekaisaran Romawi, pada abad pertama, kerja dipahami sebagai bentuk hukuman dari surga — orang diusir dari surga dan turun ke bumi untuk bekerja. Kemudian muncul gagasan bahwa kerja merupakan cara orang melayani Tuhan. Akibatnya di Eropa pekerjaan terbagi menjadi 3, yakni klerik (oratores), satria (bellatores) dan buruh (laboratores). Buruh dalam konteks masa itu dipahami dalam wujudpetani. Pada abad ke-5 hingga sekitar abad ke-15, atau Middle Ages, etika kerja Kristen mulai menguat. Muncul gagasan ora et labora yang menegaskan bahwa kerja yang tidak dibayar memiliki konotasi sebagai kerja yang suci.

Kapitalisme, yang muncul sekitar abad ke-17 dan berkontestasi dengan feodalisme, kemudian menciptakan perubah dalam perihal konsepsi kerja. Sebagai catatan, sejarah kapitalisme di tiap wilayah akan berbeda, tetapi dalam ilmu sosial disepakati bahwa kapitalisme dimulai pada abad ke-16 dan ke-17 di Inggris. Revolusi industri pada 1760 menandai bahwa kapitalisme menjadi sistem masyarakat baru yang mendominasi cara orang memproduksi. Cara memproduksi dan berpusat di kota ini kemudian merubah cara orang hidup sehari-hari.

Urbanisasi dan komersialisasi dalam masyarakat membentuk etika baru dalam kerja. Mereka yang tidak melakukan apa-apa dianggap sebagai dosa — ingat ungkapan “malas itu dosa”! Di bawah Protestanisme dan pemikiran masa Renaisans (sekitar abad ke-14 hingga abad ke-17), transisi ke kapitalisme makin terasa. Revolusi Saintifik pada abad ke-15 dan ke-16 memahami kerja, buruh, dan teknologi sebagai kondisi di mana manusia bisa menaklukkan alam — di mana perempuan dan masyarakat tanah jajahan diposisikan seperti alam. Pada masa kolonialisme inilah kemudian tanah jajahan seperti Hindia-Belanda (yang kemudian menjadi Indonesia) mulai diakrabkan dengan kapitalisme. Nilai baru yang menguat dalam rangka mencapai kebahagiaan adalah rajin, komitmen, dan ketekunan (industriousness). Kerja kemudian dianggap sebagai wujud utilitarianisme dan implementasi ekonomi nasional (merkantilisme). Kerja merupakan cara orang menjadi bahagia dan bebas. Kerja diukur dari pendapatan ekonomi dan harus produktif. Karenanya, kerja bertujuan menciptakan dan mengakumulasikan kapital. Dalam rangka reproduksi nilai-nilai kapitalistik kemudian kerja dipisahkan dari tanggung-jawab sosial (Komlosy, 2018).

Apa yang kemudian menjadi masalah dalam masyarakat kerja dalam ruang kapitalis? Menurut Marx, problem utamanya adalah alienasi yang merupakan simptom dari fetisisme komoditas. Sebelum masuk ke alienasi, kita akan memahami bagaimana alienasi bisa terbentuk. Pertama, ekonomi kapitalis menyusun konflik kepentingan antara buruh atau pekerja dengan majikannya (pemilik bisnis atau kapitalis). Prinsip dasar dari ekonomi kapitalis adalah penciptaan surplus-value atau laba yang tidak terdistribusikan secara merata. Para buruh dibayar dengan upah yang tetap dan laba yang dihasilkan dari para buruh ini diapropriasi oleh si majikan. Dalam hal ini, terjadi eksploitasi tenaga buruh yang dilakukan sistem kapitalistik terhadap si buruh.

Nah, apa konsekuensi dari relasi yang eksploitatif ini? Hayes (2014) menyebutkan bahwa alienasi menjadi konsekuensi atau efek dari relasi ekonomi yang eksploitatif. Alienasi terjadi dalam tiga area, yakni produk, kehidupan pribadi, dan diri.  Pertama, orang atau kelompok menjadi terasingkan dari hasil atau produk kerjanya dan bahkan dari aktivitas kerjanya. Kedua, orang (dipaksa) menghidupi hidupnya dan menerima kenyataan bahwa ia (dipaksa) bekerja. Ketiga, alienasi selalu dipahami sebagai alienasi-diri (self-alienation) dalam kerangka bahwa orang atau kemanusiaan menjadi asing dari sesama-yang-lain (the others) sebagaimana juga dengan potensi kemanusiaannya sendiri. Ketiga area tersebut terkait satu sama lain dan saling menguatkan.

Bagaimana orang bisa terasingkan dari produk yang dibuatnya sendiri? Misalkan seseorang bekerja sebagai buruh pabrik manufaktur mobil. Satu mobil harganya sekitar 250 juta rupiah. Tiap hari, orang tersebut memasang (bahkan bukan membuat) spion mobil. Katakanlah dia diupah 3,5 juta dalam sebulan. Dengan jumlah upah tersebut, dia bisa menabung sebanyak 500 ribu dalam sebulan. Artinya, baru setelah 500 bulan atau 41 tahun, orang tersebut bisa membeli satu mobil dengan uang tabungannya. Dalam hal ini, produk yang membutuhkan kerja si buruh mungkin tidak terjangkau oleh si pekerjanya sendiri.

Lebih lanjut lagi, dalam sebuah pabrik mobil terjadi fragmentasi dan otomatisasi kerja. Misalnya pekerjaan Anda adalah membuat sekrup dalam mesin atau velg mobil. Di jalanan Anda mungkin sering menemui bagian mobil yang Anda produksi, tetapi Anda tidak memiliki intimitas dengan produk tersebut. Dalam ruang pabrik sendiri, Anda akan melakukan pekerjaan tersebut secara monoton, bising, dan bahkan keselamatan bisa terancam. Dalam kondisi seperti demikian, Anda juga tercerabut dari aktivitas dan proses pengalaman kerja. Apa yang dikatakan kepuasan kerja dalam contoh tersebut hanya soal upah dan rekan kerja, tetapi tidak menyentuh pada pengalaman dan aktivitas kerjanya sendiri. Alienasi merujuk pada kondisi seseorang yang kehilangan realitasnya, terhadap situasi yang mana manusia diasingkan dari tubuhnya sendiri, dari alam, dan dari potensinya sendiri.

Alienasi ini kemudian juga merambah pada bagaimana Anda hidup. Seorang buruh dengan kondisi di atas, apalagi jika ia seorang perantau, akan membentuk sebuah area di mana ia hidup. Mereka terpusat pada suatu tempat yang menyediakan tempat tinggal terjangkau dan dengan demikian terpisahkan dengan masyarakat di sekitarnya. Apabila Anda pernah mendengar daerah kumuh sebagai sumber kriminalitas dan problem sosial lain, maka hal tersebut merupakan contoh stereotip yang disematkan kepada kelompok yang di/tersingkirkan karena sistem. Tantangannya kemudian membuat lokasi tinggal menjadi komunitas hidup bersama di mana orang-orang memang mengingini hidup bersama dan menemukan “rumah” dalam komunitas tersebut.

Bentuk alienasi ketiga, yakni alienasi diri, merujuk pada pemahaman bahwa seseorang atau kemanusiaan dialienasi atau disingkirkan dari potensinya. Simptom yang muncul dalam alienasi diri ini adalah berupa kesukaran untuk merasa senang, kesukaran untuk merasa hidup berharga, dan kesulitan untuk merealisasikan potensi kita karena kesejahteraan tidak terjamin. Kasus-kasus mengenai ketidak-bermaknaan hidup, ketidakbahagiaan seseorang, atau depresi yang kita temui hari ini merupakan ekspresi dari alienasi diri. Bentuk alienasi diri ini kemudian mendorong kuatnya isu psikologisasi, di mana istilah psikologi merambah ke berbagai bidang, tetapi juga diikutu dengan penyingkiran faktor lain yang dianggap bukan psikologi (De Voz, 2014).

Istilah kedua yang penting dipelajari dalam marxisme adalah ideologi. Ideologi menandai perbedaan struktural antara apa yang tampak dengan realitas. Kita dapat membuat analogi ideologi dengan kacamata. Ketika mata Anda minus dan Anda tidak mengenakan kacamata, maka segala sesuatu yang tampak di mata Anda saat ini tidak terlihat jelas. Ketika Anda mengenakan kacamata Anda, Anda akan melihat dunia sekitar Anda menjadi jelas. Sebagai contoh, pandangan dominan di sekitar kita mengatakan bahwa orang lanjut usia merupakan usia yang tidak produktif, menjadi subjek yang dikasihani, dan di sisi lain dianggap lebih matang. Bentuk-bentuk pandangan demikian disebut sebagai praktik ideologis. Ideologi didefinisikan sebagai rangkaian praktik sosial, gagasan, dan makna yang (berusaha) menyembunyikan atau membuat tidak jelas kontradiksi sosial. Pandangan tersebut menyembunyikan gagasan yang hendak mengatakan bahwa dalam masyarakat kapitalis, usia tua adalah musibah. Ketika Anda menjadi tua, peran Anda dalam memelihara kehidupan kapitalis semakin terbatasi. Suatu saat Anda mati dan dengan mudah digantikan oleh orang yang lebih muda. Inilah yang kemudian kita sebut sebagai bentuk eksploitasi tenaga untuk mengumpulkan (generating) laba.

Bagaimana praktik ideologi ini dalam psikologi? Kita bisa membuka Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) kemudian melihat bahwa di dalamnya terdapat klasifikasi gangguan psikologis. Dengan klasifikasi ini, kecenderungan psikologi bukan lagi memahami kompleksitas proses psikologis dalam membentuksimptom, melainkan hanya sekadar mengklasifikasikan psikopatologi. Pertanyaan dalam marxisme akan diarahkan: Siapa yang diuntungkan dengan klasifikasi dan kategori diagnostik in? Mengapa sistem diagnostik ini resisten terhadap perubahan dan kritik? Apakah pengklasifikasian tersebut membantu analisis secara mendalam atau justru membubuhkan label semata — bahwa seseorang memang mengalami gangguan psikologis?

Alih-alih sekadar melabeli dan mengkategorikan, psikologi yang merangkul marxisme berupaya untuk melihat manusia sebagai dialektika antara subyek dengan sistem. Dialektika merujuk pada fakta bahwa proses dan relasi bersifat resiprokal, terkait satu sama lain, dan saling menentukan. Dialektik diposisikan sebagai metodologi untuk melihat pada bagaimana segala hal, gagasan, dan relasi sosial terkonstitusikan, terpelihara, dan berubah. Pikiran dialektis betul-betul reflektif. Dalam cara ini, pikiran dialektif berfokus pada yang sebaliknya, dengan gagasan yang bersifat kontra. Dengan kata lain, dialektik berarti gagasan mengenai kontradiksi (Elhammoumi, 2015). Yang dimaksud dialektik dalam hal ini adalah dialektika antara teori dengan praktik. Praktik yang dimaksud bisa penelitian teoretis (praktik teoretis) atau tindakan praktis seperti mengikuti suatu march atau bisa pula praktik yang bentuknya revolusioner dan transformatif (dalam arti menciptakan perubahan, baik dalam ranah individual maupun sosial).

Hayes (2014) menyatakan apa yang hendak dikritik marxisme adalah soal metodologi. Pikiran dialektis sangat sulit untuk memegang pergerakan antara yang khusus dengan yang keseluruhan, sehingga muncul godaan untuk melakukan simplifikasi. Bentuk simplifikasi inilah yang kini kita kenal dengan metode — bukan metodologi. Metodologi sendiri dipahami sebagai konsepsi dalam penelitian yang mempertimbangkan konteks penelitian, asumsi teoretis dan filosofis yang mendasari strategi penelitian yang dipilih, bagaimana data dikumpulkan, dan implikasi analisis data yang membuatnya diposisikan dalam ruang yang lebih luas. Metodologi berbeda dengan metode yang sekadar rangkaian langkah dan aturan dalam menganalisis penelitian. Metodologi adalah perkara mengenai bagaimana penelitian yang kita lakukan akan memiliki implikasi macam apa, apakah mereproduksi stigma atau justru mendobrak stigma (Teo, 2010).

Ada dua catatan Hayes (2014) terkait kaitan antara marxisme dan psikologi. Pertama, psikologi butuh untuk menyadari teori marxisme macam apa yang dipakai sehingga apabila psikologi mengikutsertakan marxisme dalam analisisnya, konsekuensi dan praktiknya menjadi jelas. Kedua, Hayes (2014) tidak meyakini bahwa adalah yang dinamakan sebagai marxist psychology, yang ada adalah dialog atau dialektika antara psikologi dengan marxisme. Pertemuan keduanya bisa saling melengkapi keterkaitan antara subjek dengan masyarakat. Maka dari itu, hal paling penting dalam mempelajari marxisme adalah bagaimana psikologi dapat dikembangkan dengan adanya sentuhan marxisme.

 

Lihat Bagian 1

Lihat Bagian 3

Lihat Bagian 4

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *