Teori

Materialisme Dialektis dan Historis dalam Psikologi: Pengantar (Bagian 1)

Mengapa gagasan Karl Marx senantiasa menjadi polemik baik dalam kancah global, nasional, bahkan juga dalam disiplin psikologi? Benarkah gagasan Marx begitu berbahaya dan mengancam kondisi masyarakat yang harmonis? Kalau dianggap mengancam, mengapa sampai hari ini gagasan Marx menjadi sebuah teori sosial, secara khusus dalam disiplin psikologi, yang senantiasa di(re)produksi? Lantas, apa sumbangan Marx dalam disiplin psikologi?

Marxisme pertama-tama mendekati manusia sebagai makhluk sosial (social being), makhluk yang bersifat sosial dan ekonomi dan baru kemudian psikologis (Arfken, 2017). Karenanya, praktik aktivitas manusia adalah yang dibidik di awal untuk kemudian baru melihat praktik diskursif dan kultural yang terjadi dalam produksi relasi sosial.

Konsep penting Marx adalah komoditas (commodity) dan pertukarannya (exchange). Harvey (2010) mengatakan bahwa dengan mulai memperhatikan komoditas, kita akan lebih memiliki kejelian dalam memahami dunia; sebab tiap harinya kita berhubungan dan mengalami segala hal terkait komoditas. Dengan melihat-lihat baju, membelinya, kemudian memakainya pada suatu hari, maka kita telah berhubungan dengan komoditas. Komoditas merupakan perkara sepele yang sebetulnya sangat kompleks (Marx menyebutnya a ‘mysterious’ thing). Ketika Anda memakan beras di warung sebelah rumah, Anda telah berhubungan dengan petani yang memungkinkan beras Anda masuk ke perut. Anda berhadapan dengan sistem produksi, distribusi, dan dengan demikian sistem pemasaran beras. Petani tersebut mungkin juga telah kena tipu oleh tengkulak, mungkin pula ia terpaksa menggunakan pestisida. Namun, selera dan perut kita telanjur dicocok-cocokkan dengan beras. Sistem politik pangan juga mengembangkan beras serta menyingkirkan bahan pangan lain seperti umbi, jagung, sagu, sorgum atau bentuk diversitas pangan yang lain. Singkat kata, keinginan atau selera makan kita telah menyesuaikan diri dengan banyak sistem di sekitar kita — yang dalam konteks Indonesia dimulai saat Revolusi Hijau (1969).

Di bawah sistem kapitalisme, buruh menjadi komoditas yang diperjual-belikan dalam pasar yang kompetitif. Ketika buruh menjadi komoditas, maka alienasi tak lagi bisa terelakkan. Marx kemudian mengambil kesimpulan bahwa alienasi terjadi karena commodity fetishism. Istilah fetisisme dalam konsep Marx berbeda dengan konsepsi fetis psikoseksual ala Freud. Fetisisme bukan kondisi psikologis dari subyek yang hasratnya diubah ke dalam obyek tertentu (Osborne, 2005). Misalnya dalam gagasan Freud adalah terkait armpit fetish yang menggambarkan orang-orang yang terobsesi dengan ketiak. Apa yang ditulis Marx sebagai fetis adalah karakter dari komoditas itu sendiri, bahwa komoditas bukan sekadar barang fisik belaka; melainkan juga nilai.

Marx merujuk gagasan fetisisme komoditas bukanlah fetis terhadap suatu benda yang dikonsumsi, melainkan fetisisme yang melekat pada produk kerja segera setelah benda tersebut diproduksi sebagai komoditas. Komoditas terbentuk dari berbagai macam relasi sosial dan cara produksinya (mode of production). Osborne (2005) menuliskan bahwa untuk memahami gagasan Marx soal fetisisme komoditas, kita perlu menjawab dua hal; (1) Apa saja yang terlibat dalam produksi komoditas?, dan (2) Apa yang dipertaruhkan Marx dalam analogi-nya soal fetisisme? Konteks macam apa yang memengaruhi munculnya istilah tersebut pada pertengahan abad ke-19 di Eropa?

Osborne (2005) menuliskan bahwa komoditas merupakan bentuk dasar (elementary form) kekayaan dalam masyarakat kapitalis. Dalam komoditas, kita akan menemukan nilai guna (use-value) dan nilai tukar (exchange-value). Nilai guna berarti properti yang mampu memuaskan kebutuhan manusia. Ketika Anda lapar, Anda memakan tanakan beras atau nasi. Sementara itu, nilai tukar berarti ukuran kuantitatif dari nilai-nilai komoditas terkait dengan komoditas lain. Anda memilih beras sebagai sarapan dibandingkan bubur gandum atau bubur sorgum. Nilai tukar inilah yang menempatkan sebuah produk adalah komoditas. Atau dengan kata lain, produksi komoditas adalah produksi nilai tukar.

Orang-orang yang memproduksi komoditas, atau kita kenal dengan buruh atau pekerja (labour), memiliki dua karakter, yakni buruh konkrit (concrete labour) dan buruh abstrak (abstract labour). Buruh konkrit digunakan untuk merujuk pada keahlian tertentu yang dibutuhkan untuk menciptakan suatu obyek, misalnya menjahit, menggergaji, merencanakan, atau membungkus. Ketika si pekerja atau buruh ini hanya dinilai berdasarkan keahliannya, maka mereka direduksi ke dalam kualitas tunggal dan fungsi mereka hanya sebagai produsen barang yang bisa dipertukarkan. Kondisi tersebutlah yang kemudian menciptakan konsep buruh abstrak. Titik pijak buruh abstrak adalah nilai tukarnya.

Bagaimana efek buruh abstrak dalam komoditas yang bersifat sosial (social being)? Menurut Marx, ketika tenaga buruh ditempatkan sebagai komoditas — yakni untuk mendapatkan upah dalam produksi komoditas, sebagai produsen nilai tukar alih-alih nilai guna — maka berarti tenaga buruh dibeli. Apa tujuan akhir dari pertukaran yang dihasilkan tenaga buruh ini? Marx mengatakan bahwa tujuan akhirnya adalah nilai lebih (surplus value) atau dalam proses distribusi komoditas, nilai lebih berarti keuntungan (profit). Sebagai contoh, sebuah motor adalah benda yang yang dapat diraba dan dipegang, memiliki ukuran tertentu, dan dibuat dengan bermacam bahan seperti plastik dan metal. Sebagai nilai tukar, motor mengekspresikan hubungan kuantitatif antara buruh abstrak motor dengan komoditas lain, misalnya laptop (sebuah motor setara dengan tiga buah laptop premium). Tak ada kaitan lagi dengan motor yang bisa diraba, punya ukuran tertentu, dan dari bahan apa dibuat, Marx menyebut aspek suprasensible (lebih dari sekadar bisa diraba) dari motor ini sebagai sebuah harga. Harga merupakan sisi sosial dari komoditas.

Ketika melihat harga sebuah motor, kita melihatnya sebagai ekspresi dari nilai obyek yang dapat diraba, alih-alih melihat buruh yang telah membuatnya. Kita mungkin tidak memikirkan siapa yang memproduksi, di mana motor tersebut diproduksi, bagaimana kondisi kerjanya, atau apakah pembuat spion sama dengan pembuat mesin. Misalnya, ketika makan es krim Aice, barangkali kita tak perlu susah-susah memikirkan bagaimana kondisi kerjanya. Sampai kemudian pada 2017 terjadi demo besar-besaran dari para buruh. Harga Aice memang hanya 2000 hingga 10.000 rupiah. Namun, karyawan di dalamnya mengalami ketidakamanan kerja (job insecurities) yang tinggi; tidak sedikit yang menderita bronkitis akibat gas amonia yang sering bocor, adapula yang mengalami kecelakaan kerja tetapi tidak memperoleh jaminan kesehatan, adapula yang mengalami pemotongan upah karena ijin sakit. Dalam hal ini, karyawan atau buruh ditempatkan pada komoditas, mereka diupah untuk memproduksi nilai lebih.

 

Lihat Bagian 2

Lihat Bagian 3

Lihat Bagian 4

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *