Teori

Pendisiplinan Lewat Wacana, Kemudian Ideologi

Ketika pendisiplinan terjadi dalam ruang sosial maupun individual (baca: opresi), kita sering dihadap­kan pertanyaan: Bagaimana mungkin hal tersebut berlangsung? Mengapa kondisi tersebut bisa direproduksi dari generasi ke generasi dan dengan demikian diinternalisasi? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para pemikir konstruksionisme sosial meminjam istilah sosiologi, yakni ‘ideologi’. Konsep ‘ideologi’ seringkali digunakan para pemikir konstruksionisme sosial untuk menunjukkan bahwa relasi kuasa bisa disembunyikan atau disamarkan (atau ditopengi). Dalam tulisan ini akan dijabarkan 4 pemahaman soal ideologi. Empat pemahaman ideologi ini adalah yang seringkali dibicarakan oleh mereka yang mempelajari konstruksionisme sosial.

 

Ideologi sebagai Kesadaran Palsu

Pemahaman bahwa ideologi merupakan bentuk kesadaran palsu adalah yang paling populer di antara tiga lainnya (Burr, 1995). Pandangan ini muncul dari pende­katan Marxist. Dasar berpikir Marxist adalah: ada keuntungan nyata dari pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya, sebagai pemilik modal, Anda mempekerjakan para karyawan atau buruh. Sebagai pemilik modal, Anda tidak mengharapkan dapat rugi dalam menjalankan usaha.Anda melakukan pembayaran upah yang sekiranya Anda tanpa bekerja bisa mendapatkan laba dari hasil kerja para karyawan. Guna mendapatkan upah semaksimal mungkin, Anda harus membayar para pekerja seminimal mungkin. Kondisi nyata dari sistem upah ini adalah para pekerja dieksploitasi. Mereka bekerja bukan lagi untuk mengaktualisasikan diri, melainkan untuk mendapatkan uang. Proses ini disebut dengan alienasi, yang menjadi implikasi dari proses eksploitasi. Meskipun demikian, para pekerja ini tidak mengenali bahwa ini merupakan sebuah bentuk eksploitasi karena telah disamarkan oleh gagasan dan keyakinan mengenai sistem upah.

Bentuk eksploitasi dalam dunia pekerjaan, tidak akan dengan mudah kita ungkapkan kepada seorang yang bekerja bahwa ia sedang mengalami eksploitasi. Orang bisa marah atau sakit hati ketika dikatakan demikian. Kisah-kisah bagaimana ideologi bekerja dalam dunia industri dapat kita temukan dalam sejarah perkembangan agama Kristen (Komlosy, 2018). Anda dengan mudah bisa menemui cerita mengenai seorang karyawan yang bekerja keras namun mendapatkan upah yang minimal. Ada sebuah narasi yang muncul dan kira-kira mengafirmasi keyakinan bahwa dunia ini merupakan tempat untuk segala penderitaan. Dengan bersama-sama menderita dalam dunia ini, maka ganjaran akan kita terima di dunia selanjutnya. Anda diharapkan bekerja, banting-tulang, dan menerima bahwa ini jalan hidup Anda; bayarannya bukan di dunia namun di akhirat.

Pemahaman ideologi ala Marxist ini tidak mampu menjawab pertanyaan: Bagaimana bila agama memang benar-benar memberikan rasa ‘nyaman’ dan agama memang benar-benar hal yang dihidupi seseorang? Atau misalnya cara pandang Marxist terhadap keluarga sebagai bagian dari agenda ‘ekonomi kapitalis’? Apakah kemudian konstruksionisme sosial akan mengatakannya sebagai bentuk ilusi atau konsepsi yang keliru? Seakan-akan, dalam perspektif Marxist, manusia menjadi ciptaan atau makhluk irasional yang hidup tidak dalam kepentingan mereka sendiri. Bagaimana mungkin orang bisa sedemi­kian ditipu? Psikologi macam apa yang perlu digunakan untuk memahami hal tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan di atas-lah yang menjadi problem dalam memahami ideologi sebagai kesadaran palsu (false consciousness). Pertanyaan tersebut juga mengantarkan tradisi berpikir Marxist untuk mengadopsi psikoanalisis. Psikoanalisis mengatakan bahwa alasan sesungguhnya perilaku dan pilihan manusia berpusat dari ketidaksadar­an, bukan sekadar pilihan rasional. Pertanyaan lebih lanjut adalah, bagaimana konstruksionisme sosial menjawab unsur subyektivitas manusia? Menurut konstruksionisme sosial, kesadaran palsu hanya diartikan dalam absennya perubahan identitas seseorang atau ada sesuatu yang dianggap ‘alamiah’ dalam identitas seseorang.

Karenanya, ideologi bukanlah semata-mata kekeliruan identifikasi terhadap identitas dan ketertarikan seseorang, melainkan lebih pada munculnya kesalahpahaman dalam mendekati manusia. Kesalahpahaman ini muncul dalam konsepsi bahwa bahwa manusia menjadi pusat, makhluk utuh, dan memiliki diri yang stabil — yang merupakan perspektif dasar ego-psychology. Anggapan bahwa ada yang ‘alamiah’ (misalnya individualitas, femininitas, kepribadian, atau di­ri) dan tak bisa dipertanyakan inilah yang merupakan bentuk ideologi.

Problem kedua yang muncul dengan mengatakan bahwa ‘ideologi merupakan bentuk kesadaran palsu’ adalah konstruksionisme sosial seakan-akan mengandaikan bah­wa ada realitas, kebenaran, dan relativisme. Kalau memang orang-orang hidup dalam kesadaran palsu (misalnya mengalami opresi), apakah benar ada realitas yang dianggap lebih benar atau valid dibandingkan kesadaran palsu tersebut? Lalu, siapa yang punya otoritas untuk mengatakan bahwa ada sesuatu yang lebih benar dibanding yang lainnya? Gagasan mengenai ‘ada yang lebih benar’ dibanding yang lainnya inilah yang kontradiktif dengan gagasan utama konstruksionisme sosial bahwa ‘tidak ada yang namanya kebenaran, yang ada hanyalah jenis konstruksi kebenaran yang amat berjibun, dan konstruksi tersebut tergantung pada faktor kultural-historis yang spesifik’. Kebergantungan terhadap faktor kontekstual inilah yang kemudian dipahami sebagai relativisme. Namun, bukankah misi dari konstruksionisme sosial memang bukan pertama-tama menawarkan kebenaran tertentu? Bukankah konstruksionisme sosial lebih berminat pada bagaimana menggambarkan ‘rezim kebenaran’ ini bisa dianggap ‘benar’ dan mendemonstrasikan atau penelanjangan terhadap bagaimana kuasa bekerja untuk wacana yang lebih dominan?

 

Ideologi sebagai Pengetahuan yang Melayani Kuasa

Dalam pemahaman kedua ini, ideologi diposisikan sebagai pengetahuan yang disebarkan untuk melayani kepentingan kuasa (Burr, 1995). Pandangan ini mencerabut ideologi dari pertanyaan terkait mana yang kebenaran dan mana yang bentuk kekeliruan. Ideologi digunakan oleh pihak yang berkepentingan untuk melanggengkan kekuasaan dan posisinya. Jadi, fokusnya bukan ideologi sebagai bentuk gagasan yang berdiri sendiri, namun pada bagaimana penggunaan suatu gagasan menjadi sebuah corong untuk kekuasaan dari institusi, kelompok, atau orang tertentu.

Implikasi dari konsep ideologi kedua ini adalah wacana digunakan sebagai alat ideologi. Jadi, pemahaman ini justru mementahkan pendapat Foucault yang hendak menawarkan gagasan mengenai wacana yang bersifat opresif atau punya potensi untuk membebaskan. Foucault melihat bahwa wacana bukan alat, melainkan bentuk ideologi itu sendiri. Oleh karena itu, Foucault tidak menutup kemungkinan bahwa nantinya wacana akan memiliki implikasi yang berbahahaya. Misalnya terkait dengan terciptanya wacana soal abnormalitas seksual yang memungkinkan hadirnya kelompok tertentu yang disingkirkan atas nama wacana tersebut, seperti LGBT. Wacana soal abnormalitas ini kemudian berimplikasi pada berbagai kasus perundungan terhadap LGBT.

 

Ideologi sebagai Pengalaman yang Dihidupi (Lived Experience)

Apabila kita perhatikan, dua pemahaman di atas menekankan bahwa ideologi berada dalam ranah pikiran. Dalam pemahaman ketiga ini, ideologi digambarkan bukan sekadar dari cara kita berpikir, melainkan juga dari cara kita merasa, berperilaku, dan segala pola dari hubungan sosial kita (Burr, 1995). Dalam tulisan berjudul Ideology and Ideological State Apparatuses, Althusser (2008) menunjukkan bahwa orang dimanipulasi dan dikontrol oleh ideologi. Institusi seperti sekolah, keagamaan, neg­ara, media, bahkan keluarga merupakan bentuk Ideological State Apparatuses (ISA) yang membentuk cara kita berpikir, menggagas, bahkan cara kita merasa dan berperilaku. Keberadaan dari institusi-institusi ini tidak bisa dilepaskan dengan praktik relasi dalam suatu kelompok.

Bagaimana cara ideologi ini bekerja? Althusser (2008) mengatakan bahwa ideologi bekerja dengan cara menginterpelasi (interpellating/hailing) individu dan menjadikannya subjek. Subjek di sini dipahami dalam kerangka ‘subjection’ atau penundukan. Orang ditundukkan oleh suatu ideologi tertentu dan kemudian hidup menurut tata cara ideologi termaksud. Althusser mencontohkannya dengan ideologi monoteisme yang berawal dari kisah nabi Musa. Demikian tulis Althusser:

‘Dan terjadilah saat itu Tuhan (Yahweh) berbicara kepada Musa dalam awan. Dan Tuhan berseru kepada Musa, “Musa!” Dan Musa menjawab “Itu (benar-benar) saya! Saya adalah Musa, hamba-Mu, berbicaralah dan saya akan mendengarkan!” Dan Tuhan berbicara kepada Musa dan berkata kepadanya, “saya adalah saya”.’

Dengan demikian, Tuhan mendefinisikan dirinya sebagai Subjek par excellence, ia yang melalui dirinya dan untuk dirinya (‘saya adalah saya’), dan ia yang menginterpelasi subjeknya, individu yang ditundukkan menjadi subjek olehnya dengan interpelasinya, yaitu si individu yang bernama Musa. Dan Musa, yang diinterpelasi-dipanggil dengan namanya, setelah mengenali bahwa itu ‘benar-benar’ dia yang dipanggil Tuhan, mengenali bahwa dia adalah subjek, subjek dari Tuhan, seorang subjek yang ditundukkan menjadi subjeknya Tuhan, seorang subjek yang terbentuk melalui Subjek dan ditundukkan menjadi subjeknya Subjek. Buktinya: ia mematuhinya, dan membuat pengikutnya taat pada Perintah Tuhan.

Implikasi dari gagasan Althusser soal ideologi ini ada­lah bahwa wacana tidak hanya ada dalam bahasa, namun juga dalam praktik sosial di masyarakat. Mengatakan ideologi sebagai praktik sosial berarti ideologi menundukkan manusia sebagai makhluk yang di-subjek-kan dan merasa bahwa dirinya memang pantas mendapatkan peran tertentu di dalam kehidupan. Asal mengenali siapa dirinya dan berperilaku sesuai perannya, maka subjek akan mendapatkan kepuasan dalam hidupnya.

 

Ideologi Bersifat Dilematis

Dalam pemahaman keempat ini, ditunjukkan bahwa pikiran kita, isi dan prosesnya, dimungkinkan dengan adanya pewarisan konsep dan isu sosial (Burr, 1995). Cara berpikir ini kemudian menentukan cara kita melihat dunia dalam dua sisi. Misalnya, ketika kita memandang orang miskin, kita bisa berpikir apakah itu karena kesalahannya sendiri atau karena negara yang tak mampu menyediakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Menurut Billig dkk. (1988), pikiran kita secara alamiah berpikir dalam sistem dilema atau selalu ada tumbukan antar-gagasan (ideological dillema). Misalnya, ketika kita mendengarkan lagu Sulung yang dinyanyikan oleh Kunto Aji, kita akan menemukan liriknya berbunyi demikian: ‘Yang sebaiknya kau jaga, adalah dirimu sendiri.’ Mengapa Kunto Aji mengatakan bahwa pertama-tama yang harus berbenah adalah diri kita sendiri? Sembari berbenah-diri, mengapa kita tidak kemudian bersama-sama merubah sebuah kondisi? Mengapa masing-masing dari kita yang mesti menjaga diri kita sendiri? Bagaimana dengan orang lain di sekitar kita, apakah mereka juga tidak perlu kita jaga? Tidak bisakah kita menjaga diri sendiri sekaligus menjaga orang lain? Banyaknya orang yang gandrung dengan lirik tersebut (juga jenis produksi kultural seperti buku self-help) menunjukkan bahwa ideologi individualisme merasuki kehidupan kita sehari-hari. Implikasi yang muncul adalah, mana yang mesti kita beri prioritas, apakah ketenangan diri ataukah juga memberi ketenangan bagi kehidupan bersama. Dalam pemahaman keempat ini ditunjukkan bahwa ideologi tidak bisa dikatakan sebagai koheren, namun justru mengandung dilema yang saling berlawanan satu sama lain. Implikasi dari pemahaman keempat ini adalah pemahaman bahwa meskipun kita dijejali dan diwarisi konsep dan nilai dari lingkungan sekitar, kita tidak semata-mata mencerapnya dan melakukan reproduksi.

***

Dari keempat pembahasan mengenai ideologi, kita diajak untuk memahami bahwa apa yang disebut wacana bukan sekadar sistem makna atau cara kita merepresentasikan diri dan dunia sosial kita lewat apa yang kita pikirkan dan katakan, melainkan juga lewat apa yang kita rasakan, hasratkan, dan kita lakukan. Selain itu, meskipun wacana berpotensi untuk digunakan sebagai alat ideologis para pihak yang berkuasa, namun pada saat yang sama juga menyediakan ruang bagi orang-orang untuk memilih wacana mana yang mau dipilih dan dipraktikkan.

 

Wacana dan Realitas

Sebagaimana dibahas sebelumnya, dasar dari kerangka teoretis konstruksionisme sosial adalah ketiadaan kebenaran yang final. Kerangka ini akan membawa kita pada pertanyaan, lalu bagaimana kita mau hidup? Dengan pedoman apa kalau kehidupan hanya sekadar bentukan wacana dan tidak nyata? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini bisa sampai pada titik ekstrem bahwa tak satupun hal di dunia ini yang ada di luar wacana. Semua hanyalah wacana, semua hanyalah bahasa. Pertanyaan lanjutan muncul demikian, bagaimana dengan kondisi ekonomi atau politik? Atau bagaimana kerusuhan sosial? Tidakkah hal tersebut nyata-nyata bisa membuat luka menganga di tubuh seseorang yang terasa amat ‘nyata’? Ataukah luka ini sebenarnya cuma sebentuk wacana? Tentu saja luka adalah luka, ia menciptakan derita.

Parker (1992) mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan cara membahas ‘realitas di luar teks’ dengan gaya konstruksionisme sosial. Menurut Parker, kita memikirkan ‘sesuatu’ (perkataan, luka, baju, air, pohon, dll.) dalam model tiga status objek: ontologis, epistemologis, dan moral/politis.

Dalam bidang ontologi, kajian mengenai asal mula suatu benda, dikatakan bahwa suatu objek dimungkinkan ada dengan adanya basis material dari berpikir — yakni badan dan otak atau lingkungan di sekitar kita. Basis material ini berada secara independen dari proses berpikir dan berbahasa pada manusia. Kita tidak dimungkinkan memiliki pengetahuan langsung terhadap basis material ini, sebab berpikir membutuhkan proses konstruksi lewat memberi makna terhadap sesuatu (menghasilkan petanda). Pengetahuan dengan demikian berada dalam status objek yang berbeda, yakni status epistemologis atau asal-usul munculnya pengetahuan. Inilah yang masuk dalam wacana, segala sesuatu yang kita bicarakan dan kita beri makna. Dalam status objek ketiga, yakni status moral/politis, dilihat sebagai kategori khusus yang muncul dari status epistemologis. Apabila pengetahuan yang muncul dari status epistemologis dibawa ke dalam ruang wacana dan dunia sosial, bagaimana kemudian pengetahuan tersebut menciptakan realitas yang berefek nyata terhadap kehidupan manusia. Misal, konsep mengenai ‘intele­gensi’ (status epistemologis), ketika dipraktikkan seperti apa dampaknya? Apakah kemudian berpotensi mempersempit kesempatan orang untuk mengenyam pendidikan? Bagaimana dengan pembagian manusia berdasar ras? Apakah akan berimplikasi pada superioritas ras tertentu dan dengan demikian membuka ruang diskriminatif?

Dalam praktiknya, Parker mengatakan bahwa objek ontologis mesti diperluas dengan berbagai aspek lingkungan fisik dan sosial yang menyusun tindakan kita. Kita dilahirkan dalam sebuah masyarakat yang memiliki ruang yang secara fisik dan sosial menentukan apa yang mungkin dilakukan dan dikatakan. Misalnya, ada perbedaan antara ibu rumah tangga dengan para pekerja pabrik. Pekerja pabrik terbiasa untuk bekerja bersama dalam rentang waktu seharian, sementara ibu rumah tangga bekerja secara terisolir satu sama lain. Kondisi kerja di pabrik akan lebih memungkinkan untuk lahirnya rasa bersaudara dan senasib satu sama lain, atau solidaritas satu sama lain. Sementara itu, kondisi kerja ibu rumah tangga tidak memiliki peluang yang sama besarnya untuk menciptakan iklim serupa para pekerja pabrik.

Lantas, Parker menunjukkan bahwa ada sesuatu yang berada di luar wacana. Realitas di luar wacana ini menyediakan material kasar yang memungkinkan kita untuk menyusun dunia lewat wacana. Dalam pemaham­an demikian, pengetahuan merupakan hasil dari negosiasi antara orang dengan realitas di sekitarnya. Pengetahuan bisa digunakan untuk memanipulasi dan memprediksi kenyataan. Dengan kata lain, pengetahuan juga merupakan cara memproduksi kenyataan.

 

Agensi dan Perubahan

Apabila kita memahfumi kuasa dari struktur sosial untuk memengaruhi kehidupan individu dan wacana di sekitar individu, apakah kemudian bisa kita katakan bah­wa individu dan wacana yang ia pegang merupakan produk da­ri struktur sosial? Apabila pengalaman individu dan wacana yang dibawa merupakan bentukan struktur sosial, maka perubahan hanya mungkin terjadi dengan mengutak-atik struktur sosial tersebut, bukan individu maupun wacana yang dibawa individu tersebut. Namun, cara pandang semacam ini hanya akan membawa kita kembali gagasan strukturalis. Dalam cara pandang strukturalis ini, maka perubahan wacana yang basisnya adalah agensi manusia tidaklah mungkin terjadi.

Konstruksionisme sosial menolak gagasan di atas (Burr, 1995). Meskipun manusia sebagai subjek dikonstitusikan oleh wacana atau merupakan efek dari wacana, tapi subjek ini mampu untuk melakukan refleksi historis yang kritis dan mempraktikkan pilihan tertentu berdasarkan proses refleksinya. Dengan melakukan analisis dan refleksi kritis terhadap suatu wacana yang mem-framing hidupnya, manusia mampu melakukan resistensi. Foucault mengatakan bahwa perubahan mungkin terjadi apabila kita mampu membuka dan membedah wacana yang disingkirkan atau direpresi, untuk kemudian membuatnya menjadi wacana alternatif. Dalam Liberation Psychology, inilah yang kemudian disebut penyadaran (conscientization atau consciousness-raising). Caranya bukan memaksakan wacana baru, melainkan dengan cara membebaskan cara pandang kita ‘yang biasanya’ dan memberikan tawaran alternatif cara memahami suatu objek.

Dalam istilah Gergen (1989), manusia bukan melulu konsumen dari wacana, melainkan juga bisa mengkonsumsinya dengan cara tertentu dan melakukan manipulasi terhadap wacana, dan bukan sekadar produk wacana. Sebagai contoh, dalam gerakan penolakan pelecehan seksual, tidak sedikit orang yang merubah istilah ‘pelecehan’ dengan ‘pemerkosaan’. Perubahan istilah ini juga berimplikasi pada perubahan cara mengkonstruksi pengetahuan. Istilah ‘pemerkosaan’ memiliki tingkatan kriminalitas yang berbeda dengan ‘pelecehan’. ‘Pemerkosaan’ dengan demikian menunjukkan kejelian orang untuk memproduksi wacana baru dalam menyikapi kasus penyalahgunaan kuasa para pelaku.

 

Daftar Acuan

Althusser, L. (2006). On ideology. London: Verso.

Billig, M., Condor, S., Edwards, D., Gane, M., Middleton, D. & Radley, A. (1988). Ideological dilemmas: A Social Psychology of everyday thinking. London: Sage.

Burr, V. (1995). An introduction to social constructionism. London & New York: Routledge.

Gergen, K.J. (1989) ‘Warranting voice and the elaboration of the self. Dalam J. Shorter & K.J. Gergen (eds.), Texts of identity. London: Sage.

Parker, I. (1992). Discourse dynamics: Critical analysis for social and individual psychology. London: Routledge.

Tentang Penulis

Editor Nalarasa pada rubrik Teori. Sehari-hari mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *